Gang Apandi, Jejak Perjuangan di Balik Kemegahan Jalan Braga

Featured Image

Gang Apandi: Saksi Bisu Perjuangan Kemerdekaan di Jalan Braga

Jalan Braga di Kota Bandung, Jawa Barat, sering digambarkan sebagai buku yang menceritakan perjalanan sejarah. Bagi sebagian orang, kawasan ini menjadi catatan panjang yang merekam peradaban dari masa kolonial hingga kemerdekaan. Di balik bangunan-bangunan berarsitektur Belanda, tersembunyi kisah perjuangan yang tak bisa dilepaskan dari peristiwa penting di Gang Apandi, lorong yang menjadi saksi bisu sekaligus pondasi sejarah Braga.

Gang Apandi, Saksi Perjuangan

Di balik megahnya arsitektur heritage, Gang Apandi menyimpan kisah pahit perjuangan rakyat Indonesia. Beberapa bulan setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan pada 1945, Belanda kembali mencoba menguasai Indonesia melalui agresi militer. Saat itu, Bandung terbagi dua: wilayah utara dikuasai tentara Sekutu (AFNEI), sedangkan selatan dikuasai Tentara Republik Indonesia (TRI) dan rakyat.

Restoran Braga Permai yang berdekatan dengan Gang Apandi bahkan menjadi salah satu markas para pejuang. Namun, Belanda tidak tinggal diam. Mereka membuka pintu air Sungai Cikapundung, menyebabkan arus deras yang menyeret pejuang dan warga sipil. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengusir pejuang kita. Karena ada garis demarkasi, Braga masuk wilayah Selatan, sehingga konfrontasi langsung akan melanggar perjanjian. Akhirnya, pintu air dibuka, dan aliran sungai menyebabkan banyak korban di pihak kita.

Jenazah para pejuang dan warga sipil kemudian dievakuasi dan ditumpuk di lorong yang kini menjadi pintu masuk Gang Apandi. Pada masa itu, jenazah tidak dimasukkan ke dalam kantong mayat, hanya ditutup tikar atau kain seadanya.

Hubungan Warga dan Pejuang

David Bambang Soediono, anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Bandung, menjelaskan bahwa hubungan antara warga sipil di Braga dengan para pejuang kala itu sangat erat. Pedagang di pertokoan Braga kerap menyuplai logistik bagi para gerilyawan. Bahkan, para pedagang bergiliran menyumbang air teh, kopi, dan perlengkapan lain untuk para pejuang.

Arsitektur Gang Apandi

Kini, kisah pahit di Gang Apandi seakan tertutup oleh keindahan arsitektur kolonial. Gang Apandi berdiri di bawah bangunan besar yang terdiri dari delapan unit, menempati deretan nomor 71 hingga 97 di Jalan Braga. Menurut David, Gang Apandi merupakan satu-satunya gang di Kota Bandung yang berada di bawah bangunan heritage. Dari sisi arsitektur, Jalan Braga menyediakan ruang niaga, privat, dan publik, yang membuatnya unik.

Berdasarkan Perda Kota Bandung Nomor 7 Tahun 2018 tentang Cagar Budaya, bangunan di atas Gang Apandi masuk kategori kelas A, dengan prioritas perlindungan tertinggi. Bahkan, mantan Wali Kota Bandung periode 1985–1995, almarhum Ateng Wahyudi, pernah menegaskan bahwa pemerintah tidak berani sembarangan menggusur Kampung Apandi karena masih bermukim veteran peristiwa Bandung Lautan Api.

Kumuh dan Terlupakan

Meski menyimpan sejarah penting, Gang Apandi lama-kelamaan mendapat stigma sebagai kawasan kumuh. Puing rumah, sampah, hingga cerita mistis membuat namanya terpinggirkan. Aceng, warga RW 08, mengatakan bahwa banyak orang percaya adanya hantu di lorong Gang Apandi, sehingga warga takut dan orang luar lebih takut lagi.

Bencana banjir juga menjadi masalah klasik. Air Sungai Cikapundung yang tenang bisa tiba-tiba meluap. Pada tahun 1984, banjir paling parah terjadi, dengan air setinggi dada orang dewasa. Saat ini, meski hujan besar sedikit saja, air sudah cepat sampai ke sini. Selain banjir, warga Gang Apandi kini menghadapi masalah air bersih akibat pembangunan hotel dan gedung tinggi di sekitar Braga.

Hidupkan Kembali Gang Apandi

Beberapa tahun terakhir, warga mulai berbenah. Mereka membersihkan lahan sengketa dari puing dan sampah, merapikan lapangan, serta memperbaiki balai warga. Aceng mengatakan bahwa tanpa perbaikan, mereka akan habis karena ramainya di depan Jalan Braga. Mereka terkurung.

Warga berharap pemerintah atau komunitas mau membantu memperkenalkan Gang Apandi sebagai destinasi sejarah. Harapan mereka adalah agar ada aktivitas baru, sehingga semua warga Gang Apandi dapat bergerak, agar tidak dianggap kumuh dan ketinggalan.

Warisan Sejarah yang Tak Boleh Padam

Meski sering mendapat stigma, Gang Apandi tetap menjadi saksi bisu sejarah kemerdekaan Indonesia. Di balik gemerlap Jalan Braga, lorong ini menolak diam. Berbagai komunitas, pegiat sejarah, dan kelompok masyarakat terus datang untuk memastikan tidak ada cerita perjuangan yang tertinggal.

Seperti “perpustakaan” hidup, Gang Apandi masih menyimpan lembaran sejarah yang menunggu untuk dibaca ulang.

0 Komentar