Kartel Digital dan Tantangan Sistem Pengadaan Publik

Featured Image

Transformasi Digital dalam Pengadaan Pemerintah dan Tantangan Korupsi Era Baru

Dalam dua dekade terakhir, sistem pengadaan pemerintah di Indonesia telah mengalami transformasi yang signifikan. Salah satu bentuknya adalah e-catalogue, yang dianggap sebagai simbol dari efisiensi, akuntabilitas, dan transparansi. Namun, kasus pengadaan Chromebook senilai hampir Rp 10 triliun di bawah kepemimpinan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim menunjukkan bahwa sistem ini tidak sepenuhnya aman dari korupsi.

Proyek besar ini, yang dijalankan melalui e-catalogue dan LPSE (Layanan Pelayanan Secara Elektronik), justru membuka celah bagi praktik korupsi yang lebih kompleks. Dalam sistem yang dirancang untuk memangkas intervensi manusia dan meningkatkan persaingan, korupsi menemukan bentuk baru: tersembunyi, dilegalkan, dan diinstitusionalisasi. Ini menjadi contoh dari korupsi era digital, yang tidak lagi menabrak aturan, tetapi menyelinap dalam desain sistem itu sendiri.

Pengadaan Chromebook bukan terjadi karena pelanggaran terhadap sistem e-catalogue, melainkan karena sistem tersebut digunakan sebagaimana mestinya. Ini menunjukkan paradoks utama bahwa teknologi tidak otomatis menihilkan korupsi. Meskipun proses pengadaan dilakukan melalui e-purchasing, vendor terdaftar resmi, spesifikasi teknis disahkan, dan harga tercatat dalam sistem, penyimpangan justru terjadi pada tahapan yang tidak terjangkau sistem, seperti perumusan spesifikasi, pemilihan platform Chrome OS, dan penyusunan kebutuhan yang secara teknis sah, tapi secara substantif tertutup terhadap akuntabilitas publik.

Kasus operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Medan pada Juni 2025 memperkuat realitas ini. KPK menemukan bahwa pejabat pembuat komitmen (PPK) di Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara membuat kesepakatan terlebih dahulu dengan kontraktor dalam pertemuan di hotel, sebelum proyek ditayangkan ke publik melalui e-Katalog LKPP. Modusnya adalah rekayasa spek dan timing tayang di e-Katalog yang hanya bisa diakses oleh rekanan yang sudah "deal" sebelumnya.

Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah LKPP, Setya Budi Arijanta, mengakui bahwa modus seperti ini memang mungkin terjadi dalam sistem e-Katalog: “PPK dan rekanan ketemu dulu, setelah deal baru ditayangkan oleh PPK besoknya di e-Katalog.” Dalam kasus ini, sistem digital tidak mencegah kolusi, justru digunakan sebagai instrumen formal untuk mengabsahkan transaksi informal.

E-Catalogue sebagai Etalase Tertutup

Dalam konteks ini, e-catalogue tidak lagi bekerja dalam mekanisme sehat pasar terbuka, melainkan sebagai etalase tertutup yang dikendalikan melalui spesifikasi teknis dan persyaratan administratif. Vendor yang memenuhi spek bukanlah yang terbaik dari pasar terbuka, melainkan mereka yang sudah terafiliasi dengan proses hulu. Sistem tidak menawarkan pilihan, melainkan sekadar membatasi akses hanya pada yang sudah ditentukan.

Konsep ini dikenal dalam literatur sebagai formalized pseudo-markets, yakni struktur yang menyerupai pasar bebas, tapi sejatinya adalah arena kartel yang disahkan oleh prosedur digital. Ironi e-catalogue Indonesia bertumpu pada asumsi bahwa sistem netral akan menghasilkan keputusan netral. Padahal, netralitas sistem hanya sejauh input-nya netral. Ketika spesifikasi teknis disusun untuk mengarahkan hasil ke produk tertentu, sistem hanya akan mempercepat terwujudnya dominasi aktor yang sejak awal sudah dirancang untuk menang.

Solusi Struktural untuk Mengatasi Masalah

Pertama, solusi struktural yang ditawarkan adalah membangun mekanisme partisipatif dalam tahap prapengadaan. Dalam sistem e-catalogue Indonesia saat ini, spesifikasi teknis disusun secara tertutup oleh unit teknis internal dan disahkan tanpa keterlibatan publik. Forum terbuka prapengadaan yang melibatkan pengguna akhir, penyedia independen, organisasi masyarakat sipil, serta otoritas pengadaan lintas sektor harus menjadi prasyarat.

Kedua, penguatan kapasitas masyarakat sipil dan jurnalisme data menjadi keharusan. Sistem e-catalogue memang menyediakan data, tetapi data tersebut tidak serta-merta menghasilkan transparansi tanpa aktor yang mampu menganalisis dan menginterogasi struktur relasi di balik angka. Pendekatan civic data intelligence mendorong pemanfaatan analisis digital oleh aktor non-negara untuk mendeteksi pola-pola risiko kartel, harga abnormal, hingga perulangan vendor.

Ketiga, sistem perlindungan terhadap whistleblower harus diperkuat melalui reformasi hukum dan institusional. Banyak manipulasi spesifikasi tidak bisa dideteksi algoritma, tetapi dapat diketahui oleh pegawai jujur di dalam sistem. Mereka yang tahu bahwa perumusan spek disusun untuk menguntungkan pihak tertentu adalah sumber informasi utama, tapi selama ini justru paling rentan dikriminalisasi.

Keempat, desain sistem e-catalogue harus dilengkapi dengan kemampuan mendeteksi dan membaca pola hubungan antarpenyedia. Ini bisa dimulai dari integrasi data beneficial ownership yang dikelola OJK dan PPATK, histori kontrak lintas sektor yang dicatat oleh LKPP, serta pemetaan jaringan afiliasi bisnis. Dengan infrastruktur ini, katalog tidak hanya menampilkan harga dan spek barang, tetapi juga relasi kekuasaan dan risiko dominasi pasar. Audit politik atas pengadaan harus melengkapi audit administratif.

0 Komentar