Kisah Yuli, Pedagang Pasar Barito yang Tetap Berdagang di Tengah Relokasi

Featured Image

Kehidupan Pedagang Pasar Hewan Barito di Tengah Ketidakpastian Relokasi

Saat matahari belum sepenuhnya terang, deretan kios di Pasar Hewan Barito, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan mulai ramai. Aroma pakan hewan dan suara burung yang berkicau mengisi udara, sementara lalu lalang kendaraan menambah kegembiraan aktivitas pasar. Namun di balik kehidupan sehari-hari tersebut, para pedagang menghadapi ketakutan dan kecemasan yang muncul dari isu relokasi yang belum jelas arahnya.

Yuli (45), salah satu pedagang pakan dan hewan peliharaan, duduk di depan kiosnya yang sudah menjadi tempat usaha sejak tahun 2004. Ia dan suaminya menjalani kehidupan dengan mengandalkan pasar ini sebagai sumber penghasilan. Namun belakangan, kabar tentang relokasi ke Lenteng Agung membuatnya merasa tidak tenang.

“Sebenarnya agak khawatir, tapi kita berusaha bersama-sama berjuang,” ujarnya saat ditemui di kiosnya. Menurut Yuli, relokasi harus disertai dengan tempat yang siap digunakan. Ia telah melakukan survei ke lokasi pengganti di Lenteng Agung, namun yang ditemui bukanlah bangunan kios-kios seperti yang diharapkan, melainkan lahan kosong.

“Belum ada apa-apa, masih tanah kosong. Jadi itu bukan relokasi,” katanya. Sampai saat ini, Yuli mengaku belum menerima surat resmi dari pemerintah yang menentukan tanggal pasti pemindahan atau keputusan resmi terkait relokasi. Informasi hanya datang secara lisan saat sosialisasi pada 18 Juli lalu. Setelah mendengar informasi tersebut, ia dan beberapa pedagang langsung mengecek lokasi yang disebut-sebut akan menjadi pasar baru.

“Kami melihat tanah kosong dan telepon lagi. Mereka bilang, iya, ada tulisan Palang Satpol PP,” ungkapnya. Yuli juga menyebut bahwa sebelum relokasi ke Lenteng Agung muncul, sempat ada rencana memindahkan pedagang ke Pasar Jaya Mampang. Namun setelah dicek, tempat tersebut dinilai tidak layak karena hanya tersedia di lantai tiga dengan tangga yang tidak kuat untuk membawa barang berat seperti makanan kucing dan pasir.

“Barang kita berat-berat, jadi sulit membawa barang ke sana,” keluhnya. Bersama pedagang lain, Yuli mencoba memberikan solusi alternatif kepada pemerintah. Ia mengusulkan agar beberapa kios dikosongkan untuk akses jalan menuju taman. “Jika kios dihilangkan, bisa jadi akses lebih baik. Bisa lihat hewan, ada kuliner dan buah-buahan. Kalau sepi gimana?” ujarnya.

Ia juga menyebut bahwa pasar tersebut baru saja direvitalisasi dua tahun lalu. “Udah bagus-bagus, rapi. Kenapa harus dibongkar lagi?” tanyanya. Di kios lain, Cipto—pedagang hewan peliharaan—masih membuka dagangan meski isu relokasi semakin hangat. “Masih dagang, tapi suasana hati jadi tidak tenang,” katanya. Ia mengaku belum menerima surat resmi dari Pemprov terkait relokasi.

Cipto sudah berdagang di Pasar Barito selama 20 tahun. Menurutnya, relokasi harus disertai perencanaan matang dan musyawarah bersama. “Khawatir kalau pindah ke tempat baru, nyari pelanggan lagi susah. Kalau pemerintah mau bagusin taman, ya rembuk dulu sama pedagang,” katanya. Hingga saat ini, ia belum pernah diajak bicara langsung oleh pihak Pemkot atau Pemprov terkait nasib para pedagang.

Kekhawatiran para pedagang bukan hanya soal lokasi, tetapi juga nasib puluhan hewan peliharaan dan stok dagangan yang tidak bisa dipindahkan dalam semalam. Tidak adanya kejelasan dari pemerintah membuat mereka menggantungkan harapan tanpa arah. Meski begitu, para pedagang Pasar Barito tetap bertahan. Kios-kios masih dibuka, hewan-hewan masih dijaga, dan harapan masih digantungkan—setidaknya sampai ada kejelasan resmi dari pemerintah.

0 Komentar