
Petualangan Riko di Desa Tradisional
Setelah mengalami insiden kue tart pink yang memalukan, Riko memutuskan untuk mencari suasana baru. Ia ingin menemukan pesta gratisan yang lebih tradisional. Informasi dari seorang kenalan membawanya ke sebuah desa yang tenang di pinggiran kota, di mana katanya akan ada acara ruwatan besar.
Riko tiba di desa itu dengan menyamar sebagai "peneliti budaya" yang tidak resmi. Ia memakai topi fedora dan membawa buku catatan kosong. Suasana desa sangat berbeda dari gemerlap kota. Udara segar, suara jangkrik, dan aroma masakan tradisional langsung menyambutnya. Di tengah desa, ia melihat keramaian di sekitar sebuah lapangan terbuka. Tampaknya acara ruwatan sedang berlangsung.
Riko melihat berbagai macam sesajen yang diletakkan di beberapa tempat, mulai dari buah-buahan, nasi tumpeng mini, hingga ayam panggang utuh yang terlihat sangat menggugah selera. Perut Riko langsung bergejolak. "Hmm, sepertinya 'penelitian budaya' ini akan sangat menguntungkan," gumamnya sambil mengusap perut.
Matanya tertuju pada sebuah kandang kerbau yang cukup besar di pinggir lapangan. Di dekat kandang itu, di atas anyaman bambu, tergeletak seekor ayam panggang yang terlihat sangat lezat dengan kulit cokelat mengkilap. Tidak ada orang di sekitarnya. "Rezeki nomplok!" pikir Riko. Tanpa pikir panjang, ia mendekat dengan langkah mengendap-endap seperti agen rahasia.
Dengan sekali sambar, Riko meraih ayam panggang itu dan langsung menjauh dari kandang. Aroma ayam yang gurih semakin membuatnya lapar. Ia menemukan tempat yang agak tersembunyi di bawah pohon rindang dan mulai menyantap ayam itu dengan lahap. "Hmm, bumbunya meresap sempurna!" katanya sambil menggigit paha ayam.
Namun, keasyikannya menikmati "temuan" itu tiba-tiba terganggu oleh suara gaduh dari arah kandang kerbau. Beberapa orang berteriak-teriak panik. Riko mengintip dari balik pohon dan melihat seorang sesepuh desa menunjuk ke arahnya dengan wajah geram.
"Hei! Kamu! Apa yang kamu lakukan dengan sesajen Mbah Kebo?!" teriak sesepuh itu dengan suara menggelegar.
Riko langsung tersedak tulang ayam. "Mbah Kebo? Sesajen?"
Rupanya, ayam panggang yang ia makan dengan nikmat itu bukanlah sembarang ayam. Itu adalah bagian penting dari ritual selamatan untuk Mbah Kebo, tujuh kerbau tertua dan paling dihormati di desa itu. Mereka dianggap sebagai penjaga desa dan sumber kesuburan. Memakan sesajen Mbah Kebo dianggap sebagai tindakan sangat tidak sopan dan bisa mendatangkan bala atau kesialan bagi pelakunya.
Kepanikan Riko semakin menjadi-jadi ketika ia mendengar penjelasan dari warga desa. Karena sudah "mencemari" sesajen Mbah Kebo, satu-satunya cara untuk menolak bala dan membersihkan diri Riko adalah dengan menjalani upacara ruwatan khusus. Dan upacara itu, menurut sesepuh, adalah... dimandikan dengan air kencing ketujuh Mbah Kebo yang sudah dikumpulkan.
Riko langsung pucat pasi. "Air... kencing... kerbau?"
Warga desa mengangguk serempak dengan wajah serius. "Ini adalah cara kami menghormati leluhur dan memohon keselamatan. Kamu harus menjalaninya, Nak, demi kebaikanmu sendiri dan desa ini."
Riko mencoba berbagai macam alasan untuk menghindar, mulai dari alergi mendadak terhadap bau kerbau hingga mengaku sedang menjalankan misi rahasia dari "Badan Penelitian Ayam Panggang Nasional". Namun, warga desa tidak bergeming. Mereka bersikeras bahwa Riko harus menjalani ruwatan tersebut.
Maka, dimulailah prosesi ruwatan yang memilukan bagi Riko. Tujuh ekor kerbau tua, yang masing-masing terlihat memiliki kepribadian yang unik (ada yang terlihat malas, ada yang galak, bahkan ada yang terlihat seperti sedang mengantuk), digiring ke sebuah tempat terbuka. Di sana, warga desa sudah menyiapkan beberapa ember besar.
Dengan dibantu beberapa pemuda desa yang terlihat sedikit geli, Riko diiringi menuju tempat ruwatan. Ia mencoba memberontak, tapi tubuhnya kalah besar dengan semangat gotong royong warga desa yang ingin "menyelamatkannya".
Satu per satu, ketujuh Mbah Kebo "diminta" untuk berkontribusi pada prosesi ruwatan. Beberapa kerbau tampak kooperatif, sementara yang lain terlihat agak keberatan dan memberikan "sumbangan" dengan sedikit paksaan dari pemiliknya. Aroma khas kandang kerbau bercampur dengan bau ayam panggang sisa Riko semakin membuat perutnya mual.
Tibalah saat yang paling ditunggu (dan paling ditakuti) oleh Riko. Dengan mata terpejam rapat dan hidung tersumbat sekuat tenaga, ia berdiri pasrah di bawah guyuran air "berkah" dari ketujuh Mbah Kebo. Sensasi hangat dan aroma yang... unik... langsung menyerbu seluruh tubuhnya.
Ekspresi wajah Riko tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Antara jijik, pasrah, dan sedikit penyesalan karena tergoda oleh ayam panggang gratisan. Warga desa di sekelilingnya tampak khusyuk menyaksikan prosesi tersebut, beberapa di antaranya bahkan terlihat menahan tawa.
Setelah selesai, Riko merasa seperti dilumuri cairan aneh dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia berjalan lemas menuju sumber air terdekat untuk mencoba membersihkan diri, namun bau "berkah" Mbah Kebo sepertinya enggan pergi.
Malam harinya, Riko duduk termenung di bawah rembulan, masih bisa mencium samar-samar aroma "berkah" Mbah Kebo. Meskipun pengalaman itu sangat tidak menyenangkan, ada satu hal yang ia sadari: mencari makanan gratis memang butuh perhitungan dan kehati-hatian. Terkadang, apa yang terlihat menggiurkan ternyata menyimpan konsekuensi yang tidak terduga.
Ia juga belajar tentang pentingnya menghormati tradisi dan kepercayaan masyarakat setempat. Apa yang menurutnya hanya sekadar ayam panggang, ternyata memiliki makna sakral bagi warga desa.
Meskipun tubuhnya masih terasa lengket dan baunya masih terngiang-ngiang, Riko tidak kehilangan selera humornya. "Setidaknya, ini pengalaman yang tidak akan pernah aku lupakan," gumamnya sambil tertawa getir. "Dan mungkin, lain kali aku harus lebih selektif dalam memilih 'prasmanan' gratisan."
Dengan pelajaran berharga (dan aroma kerbau yang membekas), Riko pun meninggalkan desa itu, berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih berhati-hati dalam "berburu" kondangan atau acara gratisan lainnya. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu petualangan konyolnya sebagai Maling Kondangan pasti akan terus berlanjut, dengan kejutan-kejutan lain yang tak kalah menggelikan. Siapa tahu, di episode selanjutnya, ia akan mengacau di acara tujuh bulanan atau bahkan upacara adat yang lebih ekstrem lagi. Kita tunggu saja!
0 Komentar