
Penipuan Harga Beras dan Kekuasaan Mafia Pangan di Indonesia
Di tengah stok cadangan beras nasional yang mencapai 4,2 juta ton, harga beras justru terjual dengan harga Rp17.000/kg meskipun kualitasnya rendah. Ini menunjukkan adanya praktik manipulasi harga yang dilakukan oleh produsen besar. Seharusnya harga beras hanya sebesar Rp12.000/kg. Dengan demikian, konsumen mengalami kerugian sebesar Rp5.000/kg. Jika jumlah beras yang dijual mencapai 2 juta ton, kerugian yang dialami konsumen bisa mencapai Rp10 triliun.
Pengamat pangan Debi Syahputra menyatakan bahwa ini bukanlah masalah stok atau produksi, melainkan tindakan mafia pangan yang menahan pasokan dan mengatur pasar demi keuntungan pribadi. Ia menilai bahwa para pendukung produsen besar gencar bersuara di media sosial, podcast, dan berbagai forum untuk membangun narasi negatif tentang Bulog dan beras oplosan. Faktanya, Bulog hanya menyerap 8 persen dari total gabah, sedangkan swasta menyerap 92 persen. Hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah pendukung mafia yang menyerang balik karena gagal meraih keuntungan maksimal.
Debi juga menyoroti klaim beberapa pengamat bahwa pangsa pasar beras premium hanya 5 persen. Namun, data BPS menunjukkan bahwa porsinya mencapai 39,75 persen. Temuan Kementan juga menunjukkan bahwa beras yang dijual memiliki kadar patah antara 30–59 persen, jauh di atas standar maksimal 15 persen. Hal ini menandakan bahwa beras tersebut layak disebut sebagai beras biasa.
Harga gabah di beberapa wilayah seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat mulai turun, sehingga harga beras seharusnya ikut terkoreksi. Namun, produsen besar tetap menjaga harga tinggi dengan membeli gabah di atas harga pasar untuk mematikan penggilingan kecil dan menengah. Debi mengamini pernyataan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bahwa struktur industri penggilingan padi timpang. Produksi padi nasional hanya 65 juta ton gabah kering panen, sementara ada 161.000 penggilingan kecil dengan kapasitas total 116 juta ton per tahun dan banyak yang mati suri.
Kondisi ini semakin parah sejak 15–20 tahun terakhir, ketika ribuan penggilingan besar dan sedang masuk dengan kapasitas tambahan 50 juta ton, merebut 40–50 persen bahan baku dari penggilingan kecil. Akibatnya, ekonomi kecil terganggu, harga beras melonjak, dan rakyat menjadi korban. Debi menilai ini sebagai bentuk ketidakadilan ekonomi karena konglomerat menindas pelaku usaha kecil.
Fenomena ini menjadi antitesis hukum pasar yang mengatakan suplai besar membuat harga turun. Faktanya, saat harga gabah di tingkat petani turun, harga di pasar tetap tinggi. Yang berlaku adalah hukum rimba: yang besar memangsa yang kecil. Presiden bahkan menyebutnya sebagai serakahnomic.
Debi juga menyoroti perubahan pola pasar. Setelah beras premium dikurangi di ritel modern, penjualan di pasar tradisional justru meningkat. Ia menilai bahwa jika distribusi adil dan mafia ditekan, harga bisa normal kembali. Pasar rakyat yang diuntungkan, bukan kartel.
Ia menuntut pemerintah bertindak tegas menggunakan UU Perdagangan untuk menghukum penimbun dan penipu harga pangan. Debi menegaskan bahwa afiliasi mereka boleh membela, tapi rakyat sudah tahu permainan ini. Jangan beri ruang bagi mafia menguasai beras, hajat hidup orang banyak.
Debi juga menyinggung kritik terkait surplus beras dan swasembada. Ia menyatakan bahwa lembaga kredibel seperti FAO, USDA, dan BPS telah menyatakan bahwa Indonesia mampu mencapai swasembada dan surplus beras. Jika masih ada yang meragukan, itu sesat pikir dan lemah nasionalisme.
Menurutnya, aneh jika negara memberi subsidi ketahanan pangan besar—tahun ini Rp155 triliun, tahun depan Rp164,4 triliun—namun justru dimanfaatkan konglomerat beras untuk meraup untung. Jika 50 persen saja terealisasi, itu berarti Rp75 triliun digunakan lalu dijual dengan kualitas yang menipu konsumen.
Debi mengutip pernyataan Joao Angelo De Sousa Mota yang mundur dari jabatan Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara. Menurut Joao, penggilingan padi besar berani menjual beras yang mayoritas tidak layak, salah satunya karena praktik pengoplosan. Ada invasi luar biasa oleh penggilingan besar terhadap petani kita.
Dalam pidato kenegaraan di sidang tahunan MPR–DPR (15/8/2025), Presiden Prabowo Subianto menyampaikan keprihatinannya. Ia menyatakan bahwa sungguh aneh negara memberikan subsidi—pupuk, alat pertanian, bahkan beras—tapi harga pangan tetap mahal dan tidak terjangkau sebagian rakyat. Presiden menegaskan, usaha penggilingan padi skala besar harus memiliki izin khusus dari pemerintah. Jika mereka tidak bisa bertindak adil, jangan bermain di atas kebutuhan dasar rakyat Indonesia. Jika tidak, silakan pindah ke bidang lain.
Langkah ini menjadi bentuk perlindungan terhadap kebutuhan pangan rakyat dan penegasan bahwa sektor vital tidak boleh dikuasai segelintir pemain besar yang mengeksploitasi posisinya untuk keuntungan pribadi.
0 Komentar