
Perang Jawa: Konflik Besar dalam Sejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme
Perang Jawa, yang terjadi antara tahun 1825 hingga 1830, menjadi salah satu konflik paling besar dalam sejarah perlawanan rakyat Nusantara terhadap penjajahan Belanda. Perang ini memasuki tahun ke-200 pada 2025 dan dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, seorang bangsawan dari Kesultanan Yogyakarta. Perang ini berlangsung selama lima tahun dan melibatkan jutaan penduduk Jawa, dengan jumlah korban mencapai ratusan ribu jiwa.
Perang Jawa tidak hanya meninggalkan dampak besar bagi masyarakat saat itu, tetapi juga menjadi titik balik dalam kebijakan kolonial dan menjadikan Pangeran Diponegoro sebagai simbol perlawanan bangsa. Dalam sejarah Indonesia, ia dikenal sebagai tokoh penting yang memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan.
Latar Belakang Perang Jawa
Pemicu utama Perang Jawa adalah campur tangan Belanda dalam urusan internal kerajaan. Kehadiran Marsekal Herman Willem Daendels di Batavia membuat pengaruh kolonial semakin kuat, terutama di lingkungan Keraton Yogyakarta. Daendels melakukan perubahan dalam etiket dan tata upacara kerajaan yang menimbulkan ketegangan dengan pihak keraton. Selain itu, ia juga menekan Kesultanan Yogyakarta untuk membuka akses terhadap sumber daya alam dan manusia dengan mengandalkan kekuatan militer.
Salah satu pemicu khusus pecahnya perang adalah pembangunan jalur rel kereta api yang melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro. Hal ini dianggap sebagai penghinaan terhadap kepercayaan dan budaya masyarakat setempat.
Kronologi Perang Jawa
Perang dimulai pada 20 Juli 1825, ketika istana mengirim dua bupati senior untuk menangkap Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo. Meski kediamannya dibakar, Diponegoro bersama sebagian pengikut berhasil meloloskan diri. Perlawanan ini segera mendapat dukungan luas dari masyarakat, termasuk petani, kaum priyayi, dan tokoh agama seperti Kyai Mojo yang berperan sebagai pemimpin spiritual pemberontakan.
Dalam waktu tiga minggu, pasukan Diponegoro berhasil menyerang dan menduduki Keraton Yogyakarta, yang kemudian diikuti gelombang perlawanan di wilayah lain hingga menjangkau Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitarnya. Untuk menghadapi perlawanan ini, Belanda menurunkan sekitar 23 ribu prajurit dan menerapkan strategi “Bentengstelsel” dengan membangun benteng-benteng di titik strategis Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Akhir Perang dan Dampak Bagi Belanda
Perlawanan mulai melemah setelah sejumlah tokoh ditangkap, termasuk Kyai Mojo pada 1829, disusul Pangeran Mangkubumi dan Alibasah Sentot Prawirodijo. Pada 21 September 1829, Belanda mengumumkan sayembara berhadiah 50 ribu gulden bagi siapa pun yang bisa menangkap Diponegoro. Dalam kondisi terdesak, Diponegoro akhirnya setuju untuk berunding dengan pihak Belanda. Pertemuan dengan Jenderal de Kock berlangsung beberapa kali, namun permintaan Diponegoro untuk diakui sebagai Sultan Jawa bagian selatan ditolak.
Akhirnya, pada 28 Maret 1830, Jenderal de Kock berhasil menjebak pasukan Diponegoro sehingga ia menyerahkan diri. Penangkapan tersebut menandai berakhirnya Perang Diponegoro. Setelah itu, Diponegoro diasingkan, mulai dari Ungaran, lalu dipindahkan ke Batavia, Manado, hingga akhirnya ditempatkan di Benteng Rotterdam, Makassar, tempat ia wafat pada 8 Januari 1855.
Dampak Ekonomi dan Politik
Perang Diponegoro menelan biaya besar bagi pihak kolonial, memaksa Pemerintah Hindia Belanda mencari cara untuk menutup kerugian mereka. Salah satu langkah yang ditempuh adalah merampas tanah serta memberlakukan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) kepada rakyat Nusantara. Kebijakan ini diterapkan sejak 1830 hingga 1870, dan justru semakin memperparah penderitaan masyarakat karena beban kerja dan hasil panen yang harus diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 20 juta gulden dan korban jiwa yang besar. Menurut laporan sejarah, kerugian terdiri atas 15.000 tentara, termasuk 8.000 tentara Belanda dan 7.000 tentara pribumi, serta kerugian materi sebesar 25 juta gulden.
Setelah perang, Belanda semakin menunjukkan dominasinya. Banyak bangsawan Jawa memilih tunduk pada kekuasaan kolonial, sehingga perlawanan terbuka berkurang. Namun, butuh waktu beberapa dekade sebelum muncul kaum terpelajar dan intelektual yang kemudian menumbuhkan kesadaran baru akan pentingnya memperjuangkan kemerdekaan.
0 Komentar