Dua Pandangan Akademisi tentang Buku Puisi *Menungguku Tiba* Karya Isbedy Stiawan ZS

Featured Image

Diskusi Menarik Buku Puisi “Menungguku Tiba” di Bandung

Pada Senin sore, 18 Agustus 2025, sebuah acara bedah buku yang menarik digelar di Gedung Rumawat Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung. Buku puisi terbaru Isbedy Stiawan ZS berjudul “Menungguku Tiba” menjadi pusat perhatian dalam diskusi ini. Acara ini tidak hanya menghadirkan pembicara yang kompeten, tetapi juga memberikan ruang dialog yang kaya akan nuansa dan perspektif berbeda.

Dua akademisi yang hadir dalam acara ini adalah Dr. Baban Banita, dosen Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Unpad, dan Dr. Ipit Saefidier Dimyati, dosen teater dari Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Kehadiran mereka memperkaya diskursus karena latar belakang akademik yang berbeda namun saling melengkapi dalam mengungkap makna dan keindahan karya Isbedy.

Pendekatan Teater Absurd dalam Puisi Isbedy

Dr. Ipit Saefidier Dimyati membahas “Menungguku Tiba” dengan perspektif teater absurd. Ia menilai bahwa banyak puisi dalam antologi ini memiliki nuansa keterasingan, penantian yang tak kunjung usai, serta absurditas hidup yang sulit diurai. Ipit merujuk pada Martin Esslin, tokoh penting dalam dunia teater absurd, sekaligus pada pemikiran Ludwig Wittgenstein tentang “family resemblance” atau kesamaan keluarga. Menurutnya, menyandingkan puisi Isbedy dengan teater absurd bukanlah eksperimen yang dipaksakan, melainkan penemuan atas kesamaan pola dalam medium seni yang berbeda.

Dalam analisisnya, Ipit mengidentifikasi empat tema besar dalam puisi-puisi Isbedy yang sejalan dengan spirit absurd: keterasingan (alienation), waktu dan penantian, krisis komunikasi, serta ketidakpastian makna. Meskipun Isbedy tidak menulis dalam bentuk dramatik seperti naskah absurd ala Esslin, sajak-sajaknya menghadirkan “panggung bahasa” dengan ciri khas yang sama: fragmentasi narasi, repetisi tematik, dan simbol-simbol yang mengalir bebas. Semua itu menjadikan puisi Isbedy mampu meresonansi pengalaman batin pembaca dengan cara yang mendalam.

Perspektif Laut dalam Puisi Isbedy

Di sisi lain, Dr. Baban Banita menawarkan pandangan yang berbeda. Ia menilai bahwa antologi “Menungguku Tiba: Sehimpun Sajak 2022–2025” tidak hanya menampilkan keragaman tema, tetapi juga memperlihatkan kekayaan cara pandang penyair dalam memandang kehidupan. Menurutnya, latar simbolik yang paling menonjol dalam buku ini adalah laut. Antologi tersebut dibuka dan ditutup dengan sajak yang berkaitan dengan laut, seolah menunjukkan bahwa laut menjadi poros imajinasi penyair.

“Dengan laut, Isbedy membicarakan tentang rindu, kesendirian, hiruk-pikuk kehidupan, kesabaran, bahkan kematian. Laut menjadi ruang batin yang sangat dekat dengannya,” ujar Baban. Ia menekankan bahwa laut dalam sajak Isbedy tidak hanya hadir secara denotatif sebagai ruang geografis, tetapi juga konotatif sebagai cermin batin dan simbol kehidupan manusia. Laut dalam karya Isbedy mampu menyatukan pengalaman personal penyair dengan persoalan universal yang dialami manusia pada umumnya.

Interaksi dan Kegiatan dalam Acara

Diskusi ini semakin hidup karena dipandu oleh moderator Dr. Irfan Hidayatullah, M.Hum. Selain paparan akademis, acara bedah buku ini juga diselingi dengan pembacaan puisi dan musikalisasi puisi. Fitri Angraini, S.S., M.Pd., membacakan beberapa karya Isbedy, lalu disusul kolaborasi unik antara Baban Banita dan Ipit Dimyati yang memadukan pembacaan puisi dengan musik. Puncaknya, acara ditutup dengan penampilan puisi “Biarkan Ia Mengembara Seperti Dulu Saat Sendiri” yang menambah kesyahduan forum.

Sebanyak sekitar 70 orang hadir dalam acara ini, termasuk akademisi, mahasiswa, penulis, penyair, hingga pegiat seni. Di antaranya hadir tokoh penting seperti Ketua Pusat Budaya Sunda Unpad Prof. Ganjar Kurnia, Kaprodi Sastra Indonesia FIB Unpad Nani Darmayanti, Ph.D., Dr. Lina Meilinawati Rahayu, M.Hum., serta sejumlah pegiat literasi dan media seperti Hikmat Gumelar, Wawai, Riki Nawawi, Hasna, Rahman (SundaDigi), Rosyid E. Abby, dan lainnya.

Pentingnya Dialog Lintas Disiplin

Acara ini tidak hanya menjadi ajang peluncuran buku, melainkan juga arena dialog lintas disiplin yang memperlihatkan bagaimana puisi bisa dibaca dengan berbagai sudut pandang, mulai dari teori sastra hingga pendekatan seni pertunjukan. Pertemuan dua perspektif akademis ini menunjukkan bahwa karya sastra tidak pernah berhenti pada satu tafsir, melainkan selalu terbuka pada kemungkinan-kemungkinan baru yang memperkaya pemahaman.

0 Komentar