Hati-Hati! Monyet Mengancam Bekalmu Saat Mendaki di Plunyon Hari Kemerdekaan RI

Featured Image

Perayaan Kemerdekaan yang Berbeda

Tanggal 17 Agustus 2025 menjadi hari istimewa bagi keluarga kecil kami. Alih-alih mengikuti upacara bendera seperti biasanya, kami memutuskan untuk merayakan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia dengan cara yang lebih santai dan menyenangkan. Kami memilih melakukan hiking ringan di Plunyon Kalikuning, Sleman, bersama istri dan anak kami yang berusia lima tahun.

Persiapan yang Lengkap

Kami membawa banyak barang, termasuk beberapa kotak daging untuk dipanggang, sebakul nasi, kompor gas portable, baju ganti untuk si kecil, serta tenda. Semua perlengkapan tersebut dimasukkan ke dalam motor kami, yang berangkat tepat pukul enam pagi dari rumah di sekitar Jalan Monjali.

Rute yang kami ambil cukup familiar, yaitu melalui Jalan Palagan, lalu belok ke arah Pasar Pakem. Di sana, kami sempat mampir dan membawa kue lapis warna-warni, puding, tahu isi yang masih hangat, dan lupis dengan taburan kelapa parut serta gula merah.

Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju utara. Cuaca cerah menemani perjalanan kami. Dari titik awal hingga sampai ke Plunyon, jaraknya sekitar 25 kilometer, yang dapat ditempuh dalam waktu satu jam lebih sedikit dengan motor.

Pengalaman Hiking Pertama Anak Kami

Saat memasuki kawasan Plunyon, suasana langsung terasa berbeda. Udara dingin menyambut kami, parkiran masih lengang, dan suara gemericik air dari sungai sudah terdengar samar. Setelah melewati loket tiket, kami disambut oleh hijaunya pepohonan rindang yang seolah menjadi gerbang menuju petualangan kecil.

Plunyon bukan hanya sekadar destinasi alam biasa. Kawasan ini menjadi salah satu lokasi favorit untuk hiking ringan, berkemah, serta menikmati keindahan lereng Merapi yang masih menyimpan kisah pilu letusan dahsyat tahun 2006 dan 2010.

Salah satu daya tarik utamanya adalah Jembatan Plunyon, sebuah jembatan ikonik yang sempat menjadi lokasi syuting film KKN di Desa Penari. Jembatan ini dibangun warga sebagai infrastruktur penghubung, bukan peninggalan kolonial seperti yang sering disalahpahami.

Bagi kami, momen ini sangat istimewa karena menjadi pengalaman hiking pertama bagi si kecil. Dengan antusias, ia melangkah menyusuri Jembatan Plunyon yang membentang kokoh di atas aliran sungai. Sesekali ia menggenggam tangan saya sambil menunjuk pemandangan hijau yang terbentang di bawahnya. Saya masih ingat wajahnya begitu sumringah ketika angin kencang menerpa pipinya di tengah jembatan.

Acara Barbekyu dan Lomba Seru

Tidak lama setelah itu, kami bertemu rombongan teman-teman kantor istri yang sudah merencanakan acara barbekyu sekaligus lomba kecil untuk memeriahkan suasana. Jadi, agenda ke Plunyon ini bukan rencana pribadi saya, melainkan bagian dari acara istri dan rekan-rekan kantornya. Saya dan si kecil hanya ikut meramaikan.

Setelah menyusuri jalur setapak di sepanjang sungai yang lumayan menantang tapi masih bisa dilewati anak-anak, kami menemukan sebuah spot di dekat jembatan bambu kecil. Di situlah rombongan sepakat untuk mendirikan tenda dan mulai menata perlengkapan barbekyu.

Namun, sebuah insiden sempat membuat suasana riuh. Saat saya menemani si kecil bermain di pinggir sungai sambil menikmati kopi dari tumbler, seekor monyet turun dari pepohonan. Saya segera mengajak si kecil kembali ke atas. Tak lama, terdengar teriakan, si monyet rupanya mengincar tas berisi jajanan pasar kami.

Adegan tarik-menarik pun terjadi. Istri saya dengan sigap berlari, menghadang si monyet, bahkan sempat terpeleset ketika berusaha merebut kembali tas yang berisi kue lapis, tahu isi, puding, dan lupis itu. Untung saja, keberanian istri saya membuat si monyet kalah dan akhirnya mundur.

Aktivitas Seru dan Keseruan Bersama

Setelah suasana kembali kondusif, acara inti dimulai, memasak daging dan dilanjutkan rangkaian lomba. Ada lomba memasukkan balon kecil berisi air ke dalam gelas air mineral yang diikatkan di pinggang. Tawa pecah saat para peserta cowok bergoyang aneh demi mengarahkan balon ke dalam gelas.

Tak kalah seru, ada lomba memindahkan tepung dengan kertas yang digigit di mulut, membuat wajah-wajah peserta penuh tepung bak hantu dadakan. Lalu, lomba memindahkan sedotan yang dijepit antara hidung dan mulut, yang membuat semua orang geli karena ekspresi wajahnya kocak sekali. Sebagai penutup, lomba balap karung estafet menjadi ajang kehebohan. Bayangkan saja, berlari di medan tanah yang tak rata sambil terbungkus karung.

Pulang dengan Rasa Syukur

Menjelang tengah hari, setelah semua acara usai, rombongan mulai berkemas. Sebelum benar-benar pulang, kami sempat mampir sebentar ke area canopy trail yang berada tepat di bawah area loket. Di sana, si kecil kembali menunjukkan semangatnya. Ia begitu antusias meniti jembatan antar pohon, berlari kecil, dan bersorak gembira setiap kali berhasil melewati satu lintasan. Buatnya, tempat ini seperti taman bermain raksasa yang menyatu dengan hutan.

Kami akhirnya pulang dengan hati penuh syukur. Merayakan 17 Agustus di alam terbuka bersama keluarga dan teman-teman ternyata memberi rasa kebebasan yang lebih nyata. Tidak ada deretan kursi, tidak ada protokol resmi, hanya tawa, udara segar, dan sedikit insiden lucu yang akan selalu kami kenang. Merdeka, ternyata, bisa kita rayakan dengan cara apa saja, asal dilakukan dengan hati gembira.

0 Komentar