
Peristiwa Penculikan dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Peristiwa penculikan Sukarno dan Mohammad Hatta dari Jakarta ke Rengasdengklok menjadi salah satu momen penting dalam sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Cerita ini menggambarkan situasi yang penuh ketegangan dan strategi yang dilakukan oleh para pemuda untuk memastikan kemerdekaan bisa segera diumumkan.
Pada 15 Agustus 1945, rombongan Bung Karno dan Hatta tiba di rumah Djiauw Kieu Song menjelang Magrib. Salah satu anggota rombongan meminta izin kepada Babah Djiauw untuk meminjam rumahnya. Ia meminta agar Babah Djiauw sementara kosongkan rumah tersebut. Sang pemilik rumah kemudian membawa keluarganya ke rumah anaknya. Yanto Jauhari, yang kini berusia 76 tahun, masih mengingat peristiwa itu. Ia menyebut bahwa rombongan datang setelah keluarga Babah Djiauw selesai melakukan sembahyang bulan 7 atau Chit Gwe Pua. Mereka juga sedang memasak makanan karena waktu tersebut jatuh pada bulan Ramadan.
Makanan yang disiapkan untuk ritual tersebut kemudian dimakan oleh rombongan saat berbuka dan sahur. Selain itu, ada cerita menarik lainnya mengenai Guntur, putra Bung Karno yang dibawa bersama istrinya ke Rengasdengklok. Guntur yang masih bayi menangis karena susunya tidak terbawa. Untuk menghiburnya, ia diberi gula batu dan teh.
Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Sukarno mengenang peristiwa penculikan tersebut sebagai bagian dari rencana pemberontakan yang akan dilakukan para pemuda. Dengan memanfaatkan moril pasukan Jepang yang runtuh setelah kalah dari Sekutu, mereka ingin melancarkan pemberontakan bersenjata. Untuk menghindari pengaruh Jepang, Sukarno dan Hatta diculik ke Rengasdengklok.
Para pemuda meminta Bung Karno menggunakan seragam yang telah dipersiapkan agar tidak diketahui oleh pasukan Jepang. Mobil jenis Fiat yang ditumpangi oleh Bung Karno dan keluarganya berhenti di daerah bebas penjagaan Jepang. Rombongan lalu berpindah kendaraan. Pada tengah hari, mereka berpindah ke masjid. Setelah yakin kondisi aman, rombongan dibawa ke rumah Babah Djiauw.
Dalam penjelasan Singgih, salah satu serdadu Peta yang terlibat dalam peristiwa tersebut, rombongan tiba di Rengasdengklok pada pukul 6.00. Mereka dijemput oleh Shodanco Affan. Singgih juga mengingat Guntur yang rewel karena haus susu sempat digendong Hatta. Bahkan, Hatta terkadang kesal saat menggendongnya.
Dalam versi lain, Bung Karno menyatakan bahwa rencana pemberontakan tidak terjadi hingga akhirnya ia dijemput oleh Achmad Subarjo. Subarjo mendapatkan informasi lokasi Sukarno dan Hatta dari Wikana, salah satu pemuda yang merencanakan penculikan. Menurut keterangan Singgih, kelompok pemuda dan prajurit Peta berhasil meyakinkan Bung Karno untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Janji Bung Karno itu mensyaratkan ia dikembalikan ke Jakarta.
Cerita tentang penculikan dan proklamasi juga muncul dalam buku Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 yang ditulis Benedict Anderson. Sebelum penculikan, Anderson mencatat bahwa Wikana mendesak Sukarno di rumah Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta untuk segera mengumumkan kemerdekaan. Jika Bung Besar tidak segera mengumumkan, Wikana menyatakan akan terjadi pembunuhan dan penumpahan darah esok hari.
Proklamasi yang Sederhana
Setelah kembali ke Jakarta, proses menuju proklamasi terus berlangsung. Pada 17 Agustus 1945, proklamasi dibacakan oleh Bung Karno dengan didampingi Bung Hatta. Proklamasi yang digelar di halaman depan sebuah rumah di Pegangsaan Timur 56 berlangsung sederhana. Tidak ada terompet yang ditiup, tidak ada paduan suara merdu dari para bidadari, dan tidak ada upacara keagamaan yang khidmat.
Lokasi proklamasi bukan di ruang penobatan dari Istana Ratu Juliana (Ratu Belanda), melainkan hanya sebuah kamar depan yang kecil di sebelah ruangan besar di rumah seorang laksamana Jepang. Segalanya begitu sederhana dalam peristiwa proklamasi itu. Latief Hendraningrat, pengibar bendera merah putih, menyebut tiang bendera yang dipakai merupakan bambu untuk jemuran. Sebetulnya, di halaman depan rumah terdapat dua tiang bendera yang lebih bagus. Namun, mereka memilih tiang bendera baru dan tidak mau menggunakan tiang bendera yang lainnya.
Saking tegangnya suasana proklamasi, para wartawan lupa diberitahu. "Wartawan yang hadir di situ hanyalah Frans Mendur. Frans ini hanya membawa dua pelat film," ucap Latief. Dengan demikian, hanya ada dua foto otentik yang mengabadikan proklamasi kemerdekaan.
0 Komentar