Gula dan Mood: Mengapa Manis di Lidah Bisa Pahit di Perasaan


Pernahkah kamu merasa bersemangat setelah makan cokelat, tapi tak lama kemudian justru dilanda rasa lelah atau murung? Fenomena “sugar rush” memang kerap jadi alasan kita mencari camilan manis di tengah hari yang berat. Namun, benarkah gula bisa memengaruhi mood kita sedemikian rupa?

Banyak orang percaya bahwa makanan manis adalah solusi instan untuk memperbaiki suasana hati. Bahkan, di era modern yang serba cepat, gula menjadi “teman setia” di sela aktivitas: dari kopi bergula di pagi hari, hingga kue dan minuman manis sebagai pelipur lara saat stres. Namun, di balik kenikmatan sesaat itu, para ahli gizi dan peneliti kesehatan mental mulai menyoroti dampak jangka panjang konsumsi gula terhadap emosi dan kesehatan psikologis kita.

Secara ilmiah, gula memang memberikan efek “feel good” pada otak. Saat kita mengonsumsi makanan manis, otak melepaskan zat kimia seperti dopamin dan opioid yang menimbulkan sensasi senang dan puas. Inilah yang dikenal sebagai “sugar rush”. Namun, efek ini hanya berlangsung singkat-sekitar 20 menit-sebelum kadar gula darah turun drastis. Penurunan inilah yang sering membuat kita merasa lesu, mudah marah, bahkan sulit berkonsentrasi setelahnya.

Lebih jauh lagi, konsumsi gula berlebihan ternyata dapat memperburuk suasana hati. Studi menunjukkan bahwa diet tinggi gula dan makanan ultra-proses berkaitan erat dengan risiko depresi dan gangguan mood lainnya. Salah satu penyebabnya adalah gula dapat menurunkan produksi hormon serotonin-zat kimia di otak yang berperan besar dalam mengatur mood dan rasa bahagia. Selain itu, gula juga memicu peradangan dan mengganggu keseimbangan mikroba di usus, yang berperan penting dalam komunikasi antara usus dan otak (gut-brain axis). Ketidakseimbangan ini dapat memperburuk kecemasan, stres, bahkan membuat kita lebih sulit mengelola emosi.

Tak hanya itu, mengandalkan gula sebagai pelarian dari stres justru bisa menciptakan siklus ketergantungan. Saat stres, tubuh memang cenderung mencari makanan manis karena gula dapat menekan respons stres di otak. 

Namun, jika kebiasaan ini terus berlanjut, kita menjadi semakin sulit mengelola stres tanpa bantuan gula, bahkan bisa mengalami gejala seperti kecemasan, iritabilitas, dan kelelahan saat mencoba mengurangi asupan gula secara tiba-tiba. 

Beberapa ahli bahkan menyamakan gejala “putus gula” ini dengan gejala withdrawal pada kecanduan zat lain, meski istilah “kecanduan gula” masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan.

Dampak gula pada mood juga terlihat pada fungsi kognitif. Penelitian menunjukkan bahwa diet tinggi gula dapat menurunkan kemampuan berpikir, memperburuk daya ingat, dan membuat seseorang lebih sulit mengendalikan nafsu makan. 

Dalam jangka panjang, pola makan tinggi gula meningkatkan risiko depresi, terutama pada pria dan wanita usia lanjut. Sebuah studi besar bahkan menemukan bahwa pria yang mengonsumsi 67 gram gula atau lebih per hari memiliki risiko 23% lebih tinggi mengalami depresi dibandingkan mereka yang mengonsumsi kurang dari 40 gram per hari.

Namun, bukan berarti semua gula harus dihindari. Gula alami yang terdapat pada buah, sayur, dan susu tidak memberikan efek buruk seperti gula tambahan atau “free sugar” yang banyak ditemukan pada makanan olahan. Kuncinya adalah membatasi konsumsi gula tambahan dan memperbanyak asupan makanan utuh yang kaya serat, vitamin, dan mineral untuk menjaga kesehatan mental dan fisik.
Ending

Gula memang mampu menghadirkan kebahagiaan sesaat, namun di balik manisnya, tersembunyi risiko yang bisa memengaruhi mood dan kesehatan mental kita. Jika kamu sering merasa suasana hati mudah berubah setelah makan manis, mungkin saatnya lebih bijak memilih camilan. 

Mengurangi gula tambahan dan memperbanyak makanan alami bukan hanya baik untuk tubuh, tapi juga untuk pikiran. Jadi, lain kali saat ingin memperbaiki mood, pertimbangkan untuk memilih buah segar atau berjalan kaki sebentar-karena kebahagiaan sejati tak selalu datang dari sesuatu yang manis di lidah, tapi juga sehat untuk jiwa.

Sumber Rujukan:


1 Komentar

  1. Kalau mengikuti referensi bacaan di atas saya ngeri akibat kelebihan gula. Di belahan dunia maju mereka menghindari konsumsi gula sejak kanak kanak

    BalasHapus