Komunikasi Antar Budaya: Makna, Definisi, dan Referensinya


Mulyana[1] menegaskan bahwa bila komunikasi terjadi antara orang-orang yang berbeda bangsa, ras, bahasa, agama, tingkat pendidikan, status sosial, atau bahkan jenis kelamin, komunikasi demikian disebut komunikasi antarbudaya. 

Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda. 

Setiap komunikasi yang dilakukan orang lain mengandung potensi komunikasi antarbudaya, karena kita selalu berbeda “budaya” dengan orang tersebut, seberapa kecilpun perbedaan itu. Mulyana menegaskan, “cara kita berkomunikasi sangat tergantung pada budaya kita: bahasa, aturan, dan norma kita masing-masing.”

Salah satu persoalan penting ketika berkomunikasi dengan orang lain adalah persepsi kita terhadap orang tersebut. Mulyana[2] menyebutkan bahwa agama, ideologi, tingkat intelektualitas, tingkat ekonomi, pekerjaan, dan cita rasa sebagai faktor-faktor internal yang jelas mempengaruhi persepsi seseorang terhadap realitas. Dengan demikian, persepsi itu terikat oleh budaya (culture-bound). Bagaimana kita memaknai pesan, objek, atau lingkungan tergantung pada sistem nilai yang kita anut. 

Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter dalam Communication between Cultutures sebagaimana dikutip Mulyana mengemukakan ada enam unsur budaya yang secara langsung mempengaruhi persepsi ketika kita berkomunikasi dengan orang dari budaya lain, yakni 1) kepercayaan (beliefs), nilai (values), dan sikap (attitude); 2) pandangan dunia (worldwide), organisasi sosial (social organization), tabiat manusia (human nature), orientasi kegiatan (activity orientation), persepsi tentang diri dan orang lain (perception of self and others).

Menurut Sendjaja[3] untuk mencari kejelasan dan mengintergasikan berbagai konseptualisasi tentang kebudayaan dalam konteks Komunikasi Antarbudaya (KAB), ada 3 (tiga) dimensi yang perlu diperhatikan:

  1. Tingkat masyarakat kelompok budaya dari para partisan;
  2. Konteks sosial tempat terjadinya KAB;
  3. Saluran yang dilalui oleh pesan-pesan KAB (baik yang bersifat verbal maupun non verbal)

Dimensi pertama menunjukkan istilah kebudayaan telah digunakan untuk merujuk pada macam-macam tingkat lingkupkan dan kompleksitas dari organisasi sosial. Umumnya istilah kebudayaan mencakup beberapa pengertian sebagai berikut:

  1. kawasan-kawasan di dunia, misalnya: budaya timur, budaya barat;
  2. subkawasan-kawasan di dunia, misalnya: budaya Amerika Utara, budaya Asia Tenggara;
  3. nasional/ negara, misalnya: budaya Indonesia, budaya Perancis, budaya Jepang;
  4. kelompok-kelompok etnis-ras dalam negara seperti: budaya orang Amerika Hitam, budaya Amerika Asia, budaya Cina-Indonesia;
  5. macam-macam subkelompok sosiologis berdasarkan kategorisaasi jenis kelamin, kelas sosial, couindercultures (budaya Hippis, budaya orang di penjara, budaya gelandangan, budaya kemiskinan).

Dimensi kedua, lanjut Sendjadja, macam kegiatan KAB dapat diklasifikasikan lagi berdasarkan konteks sosialnya, meliputi: bisnis, organisasi, pendidikan, akulturasi imigraan, politik, penyesuaian pelancong/ pendatang sementara, perkembangan alih teknologi/ pembangunan/ difusi inovasi, konsultasi terapis. 

Komunikasi dalam, semua konteks sosial tersebut pada dasarnya memiliki persamaan dalam hal unsur-unsur dasar dan proses komunikasi (misalnya yang menyangkut penyampaian, penerimaan, dan pemrosesan). Tetapi adanya pengaruh kebudayaan yang tercakup dalam latar belakang pengalaman individu membentuk pola-pola persepsi, pemikiran, penggunaan pesan-pesan verbal/ nonverbal serta hubungan-hubungan antaranya.

Dimensi ketiga berkaitan dengan saluran komunikasi. Dimensi ini menunjukkan tentang saluran apa yang dipergunakan dalam KAB.

Tidak ada batasan antara budaya dan komunikasi, seperti yang dinyatakan Hall, “Budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya,” demikian pendapat yang dikutip Samovar[4]. Dengan kata lain, ketika membahas budaya dan komunikasi sulit untuk memutuskan mana yang menjadi suara dan mana yang menjadi gemanya. Alasannya adalah karena Anda “mempelajari” budaya Anda melalui komunikasi dan pada saat yang sama komunikasi merupakan refleksi budaya Anda. 

Triandis menegaskan bahwa kebudayaan merupakan elemen subjektif dan objektif yang dibuat manusia yang di masa lalu meningkatkan kemungkinan untuk bertahan hidup dan berakibat dalam kepuasan pelaku dalam ceruk ekologis, dan demikian tersebar di antara mereka yang dapat berkomunikasi satu sama lainnya, karena mereka mempunyai kesamaan bahasa dan mereka hidup dalam waktu dan tempat yang sama.

Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berfikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatatan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hierarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok[5].

Budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada saat tertentu. Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari obyek materi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. 

Objek-objek seperti rumah, alat, dan mesin yang digunakan dalam industri dan pertanian, jenis-jenis transportasi, dan alat-alat perang, menyediakan suatu landasan utama bagi kehidupan sosial. Budaya berkenaan dengan bentuk dan struktur fisik serta lingkungan sosial yang mempengaruhi hidup kita. Sebagian besar pengaruh budaya terhadap kehidupan kita tidak kita sadari.

Menurut Koentjaraningrat sebagai dikutip Sumarno[6] kebudayaan itu ada tiga wujud, yaitu: 1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan sebagainya; 2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; 3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud yang pertama bersifat ideal dan abstrak yang berada dalam angan-angan atau cita-cita. Koentjaraningrat menyebut “kebudayaan ideal” sebagai adat tata kelakuan yang berfungsi mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam fungsi itu adat terdiri dari beberapa lapisan, dari yang paling abstrak dan luas, sampai yang paling konkret dan terbatas. Lapisan yang paling abstrak adalah sistem nilai budaya. 

Lapisan berikutnya, ialah sistem norma adalah lebih konkret. Sistem hukum yang bersandar norma-norma adalah lebih konkret lagi. Sedangkan peraturan-peraturan khusus yang mengatur berbagai aktivitas sehari-hari dalam kehidupan masyarakat, merupakan lapisan adat yang paling konkret tetapi terbatas ruang lingkupnya.

Wujud kedua, sering disebut sistem sosial, yaitu yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul antara satu dengan yang lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan pada adat kelakuan. Wujud ketiga, yaitu benda-benda karya manusia yang disebut benda kebudayaan. Produk ini lebih konkret karena dapat dilihat, diraba, dan dirasakan. Ketiga wujud kebudayaan tersebut dalam kenyataan empiris merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah.

Littlejohn[7] menyebut para pakar kajian budaya yang membicarakan budaya dalam dua cara. Definisi pertama adalah ide dasar sebuah masyarakat atau kelompok tenteram, ideologinya, atau cara berfikir kolektif di mana sebuah kelompok memahami perasaannya. Definisi kedua adalah praktik atau keseluruhan cara hidup dari sebuah kelompok---apa yang individu lakukan secara materi dari hari ke hari. Dua pengertian budaya tersebut tidak benar-benar terpisah karena ideologi dari sebuah kelompok diproduksi dan direproduksi dalam praktiknya. 

Pada kenyataannya, perhatian umum pada ahli teori adalah hubungan antara tindakan dari institusi masyarakat, seperti halnya media dan budaya. Ide dan praktik selalu terjadi bersama-sama dalam sebuah konteks historis. Sebagai contoh, manusia menonton televisi setiap hari, membuat mereka bagian dari budaya televisi. Seluruh industri televisi adalah sebuah budaya produksi karena itu adalah sarana menciptakan perselisihan, produksi ulang, dan mengubah budaya. Praktik konkret melibatkan produksi dan mengonsumsi televisi adalah mekanisme penting dalam pembentukan ideologi.

Mengakselerasikan definisi yang disampaikan Littlejohn tersebut menegaskan bahwa manusia di belahan dunia yang memiliki kebiasaan mengakses internet setiap detik, berinteraksi di dunia maya, berselisih melalui teks-teks virtual, memproduksi gambar, dan membuat agenda berdasarkan pesan di internet telah melahirkan budaya. Keseluruhan produk internet adalah industri budaya produksi sehingga mampu menjadi saluran melahirkan pertarungan wacana-wacana, merekonstruksi makna-makna dengan simbol-simbol yang ditampilkan di layar siber, dan pada akhirnya perilaku manusia berubah dari historis sebelumnya menuju bentuk budaya baru, yaitu “budaya internet”. Pada praktik riilnya, proses produksi dan mengonsumsi internet adalah rangkaian yang sangat penting dalam pembentukan ideologi tertentu.

Budaya pada dasarnya merupakan nilai-nilai yang muncul dari proses interaksi antar-individu. Nilai-nilai ini diakui, baik secara langsung maupun tidak, seiring dengan waktu yang dilalui dalam interaksi tersebut. Bahkan terkadang nilai tersebut berlangsung di dalam alam bawah sadar individu dan diwariskan pada generasi berikutnya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia budaya bisa diartikan sebagai 1) pikiran, akal budi; 2) adat istiadat; 3) sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju); dan 4) sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan. Menurut Twaites, budaya adalah sekumpulan praktik sosial yang melaluinya makna diproduksi, diartikulasikan, dan dipertukarkan. Makna ini tersebut berada dalam tataran komunikasi baik komunikasi antarindividu maupun komunikasi yang terjadi dalam kelompok.[8].

Daftar Rujukan:


  1. Deddy Mulyana (ed), Mengapa dan Untuk Apa Kita Mempelajari Komunikasi Antarbudaya, Pengantar dalam Komunikasi Antarbudaya (Bandung: Rosdakarya, 2010), v. Dalam catatan kakinya, Guru Besar Komunikasi Universitas Padjadjaran ini mengungkapkan bahwa Istilah komunikasi antarbudaya sering dipertukarkan dengan istilah komunikasi lintas budaya (cross-cultural communications), dan terkadang diasosiasikan dengan komunikasi antaretnis (interethnic communications), komunikasi antarras (interracial communications) dan komunikasi internasional (international communications). Komunikasi antarbudaya sebenarnya lebih inklusif daripada komunikasi antaretnik atau komunikasi antarras, karena bidang yang dipelajarinya tidak sekadar komunikasi antar dua kelompok etnik atau dua kelompok ras. Komunikasi antarbudaya lebih informal, personal, dan tidak selalu bersifat antarbangsa atau antar negara, komunikasi internasional cenderung mempelajari komunikasi antarbangsa lewat saluran-saluran formal dan media massa.
  2. Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi (Bandung: Rosdakarya, 2014), 213-214. Oleh karena persepsi berdasarkan budaya yang telah dipelajari, maka persepsi seseorang atas lingkungannya bersifat subjektif. Semakin besar perbedaan budaya antara dua orang semakin besar pula perbedaan persepsi mereka terhadap realitas. Dan oleh karena tidak ada dua orang yang mempunyai nilai-nilai budaya yang persis sama, maka tidak akan pernah ada dua orang yang mempunyai persepsi yang persis sama pula.
  3. Sasa Djuarsa Sendjadja, dkk, Teori Komunikasi (Jakarta: Universitas Terbuka, 2013), 7.12-7.13.
  4. Larry, Komunikasi, 25.
  5. Richard E. Porter & Larry A. Samovar, Suatu Pendekatan Terhadap Komunikasi Antar Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), 18.
  6. Sumarno AP, Kismiyato El Karimah, Ninis Agustini Damayanti, Filsafat dan Etika Komunikasi (Jakarta: Universitas Terbuka, 2013), 7.4.
  7. Stephen, Teori, 477-478.
  8. Ruli Nasrullah, Komunikasi Antarbudaya di Era Media Siber (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 15.

0 Komentar