Minimalist Living: Kenapa Gen Z dan Milenial Cenderung Memilih Hidup Lebih Sederhana?


Di tengah derasnya arus media sosial yang memamerkan kemewahan dan tren konsumtif, semakin banyak anak muda yang justru tertarik menerapkan gaya hidup minimalis. Gaya hidup yang mengusung kesederhanaan ini bukan cuma jadi gaya hidup alternatif, tapi mulai dianggap sebagai solusi konkret atas stres, kecemasan, dan tekanan finansial yang makin kompleks di tahun 2024.

Gaya hidup minimalis memang bukan hal baru. Tapi, bagaimana tren ini menjalar ke kalangan Gen Z dan Milenial Indonesia—dan mengapa justru sekarang jadi sangat relevan—adalah hal menarik untuk dikulik. Sebuah survei terbaru mengungkap bagaimana anak muda di berbagai daerah mulai mempraktikkan hidup dengan "lebih sedikit", demi makna yang lebih dalam.

Lebih Hemat, Lebih Bermakna, Lebih Tenang



Sebuah survei bertema Preferensi Gaya Hidup Minimalis oleh Generasi Muda Tahun 2024, yang dilakukan oleh peserta MSIB GNFI Batch 7, mengungkap bahwa 56,9% responden muda tertarik menjalani gaya hidup ini. Motivasi utamanya? Menghemat uang. Tapi bukan cuma itu.

Sebagian besar generasi muda melihat minimalisme sebagai jalan menuju hidup yang lebih meaningful. Sebanyak 24,5% responden ingin hidup lebih bermakna dan fokus pada hal-hal positif. Ada juga yang menjadikan gaya hidup ini sebagai bentuk terapi untuk kesehatan mental—11,1% dari mereka percaya bahwa mengurangi barang berarti juga mengurangi stres dan kecemasan.

Dari Teori ke Aksi: Apa Saja yang Dilakukan Anak Muda?



Tidak cuma sekadar wacana, anak muda yang memilih minimalisme mulai menerapkannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Langkah pertama yang paling terlihat adalah pengelolaan keuangan yang lebih bijak. Survei mencatat, 74,4% responden menyadari pentingnya menabung dan memprioritaskan pengeluaran. Mereka mulai bertanya sebelum belanja: "Apakah aku benar-benar butuh ini?"

Sementara itu, 66% dari mereka lebih memilih kualitas daripada kuantitas. Produk yang dibeli memang lebih mahal, tapi lebih tahan lama dan tidak perlu sering diganti. Ini bukan sekadar penghematan, tapi bentuk penghargaan terhadap barang yang dimiliki.

Yang juga cukup menarik, hampir setengah dari responden (47,3%) sudah aktif merapikan dan mengurangi jumlah barang di rumah. Bukan demi estetik semata, tapi untuk menciptakan ruang yang lebih tenang dan nyaman.

Tidak Semudah Itu, Minimalisme…



Namun, tentu saja menerapkan hidup minimalis tidak semudah menyusun feed Instagram. Tekanan sosial dari media digital menjadi tantangan besar. Sebanyak 33,3% responden mengaku sulit melawan godaan konsumsi yang terus-menerus terpampang di layar. Dari diskon kilat sampai tren "haul" barang, semua seakan mendorong untuk beli sekarang atau menyesal nanti.

Selain itu, 32,9% dari mereka merasa susah mengubah kebiasaan lama. Hidup dengan banyak barang sudah jadi gaya hidup default sejak kecil—mengubahnya butuh kesadaran, waktu, dan kesabaran. Belum lagi soal barang-barang sentimental. Sebanyak 29,2% merasa berat melepas barang yang punya nilai emosional, meskipun tidak lagi digunakan.

Dampak Positif yang Mulai Terasa



Tapi kerja keras itu tidak sia-sia. Banyak responden melaporkan manfaat positif setelah menjalani gaya hidup minimalis. Yang paling terasa? Efisiensi waktu dan finansial. Tanpa harus terus menerus belanja atau merapikan barang, hidup jadi lebih ringan dan fokus.

Menariknya, 26,9% merasa lebih bahagia dan sejahtera. Kebahagiaan ternyata tidak datang dari "lebih banyak", tapi dari lebih cukup. Bahkan 18,1% responden merasakan penurunan stres dan kecemasan. Ruang yang bersih, pikiran yang terarah, dan keuangan yang lebih tertata—semuanya memberi rasa tenang yang jarang didapat dari hidup konsumtif.

Penutup


Gaya hidup minimalis mungkin tampak seperti tren sesaat di Instagram, tapi kenyataannya, bagi banyak anak muda Indonesia di tahun 2024, ini adalah pilihan hidup yang benar-benar berarti. Mereka tidak sekadar ingin hidup simpel, tapi ingin hidup dengan kesadaran, keseimbangan, dan kebahagiaan jangka panjang.

Memulai gaya hidup ini memang tidak mudah. Tapi kamu tidak perlu langsung buang semua barang atau berhenti belanja total. Cukup mulai dari langkah kecil: pikirkan kembali apa yang kamu miliki, apa yang kamu butuhkan, dan apa yang benar-benar membuatmu bahagia. Karena kadang, less is more bukan cuma kata-kata, tapi jalan menuju hidup yang lebih utuh.

*) Seluruh data dan survey dalam tulisan ini dikutip dari Goodstats Indonesia

0 Komentar