Gowok: Kamasutra Jawa: Tradisi dan Pendidikan

Featured Image

Gowok: Kamasutra Jawa yang Mengangkat Pendidikan Seks dari Balik Tradisi

Di tengah arus industri film Indonesia yang sering memutar cerita tentang cinta, keluarga, dan horor, Gowok: Kamasutra Jawa hadir sebagai sebuah karya yang berbeda. Film ini tidak hanya mengangkat topik seksualitas, tetapi juga mengajak penonton untuk merenungkan makna pendidikan seks, peran perempuan, serta bagaimana budaya menangani hal-hal yang dianggap tabu.

Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini mengambil latar era 1955-1965, masa penuh gejolak pasca-kemerdekaan. Di tengah ketegangan sosial-politik, hadir sosok Nyai Santi, seorang gowok; profesi perempuan di masa lalu yang bertugas mendidik calon pengantin laki-laki tentang seni berumah tangga, termasuk dalam aspek seksual. Lewat karakter ini, kita diajak menyelami dunia yang secara diam-diam sudah lama hilang dari kesadaran kolektif masyarakat Jawa: dunia di mana seks diajarkan sebagai pengetahuan hidup, bukan sebagai komoditas atau dosa.

Dari Serat Centhini ke Layar Lebar

Tradisi gowok bukan mitos, tapi fakta historis yang jejaknya bisa ditelusuri dalam teks seperti Serat Centhini, semacam "ensiklopedia kehidupan Jawa" yang mencakup dimensi budaya, spiritual, hingga sensual. Dalam teks ini, seks tidak digambarkan secara vulgar, tetapi filosofis dan metaforis, disampaikan dalam bahasa simbolik yang menuntut kedewasaan dan kepekaan pembaca.

Hanung menyebut film ini sebagai "kebalikan dari Kamasutra", karena tujuannya bukan untuk menekankan kepuasan pria, tapi justru membalikkan perspektif: istri harus dipuaskan, perempuan harus dihargai tubuh dan keinginannya. Ini adalah gagasan radikal, bahkan dalam lanskap sinema Indonesia kontemporer yang masih sering memandang seks dari kacamata laki-laki.

Tabu yang Terorganisir

Lewat Gowok, Hanung tidak hanya menampilkan seks sebagai kebutuhan biologis, tapi sebagai sistem nilai. Dalam budaya Jawa yang kontekstual tinggi, komunikasi tidak dilakukan secara langsung. Kata tidak selalu berarti apa yang dikatakan, dan simbol lebih penting daripada pernyataan eksplisit. Maka pendidikan seks tidak pernah diajarkan secara terang-terangan. Tapi bukan berarti ia tidak ada.

Menurut Edward T. Hall (1976), budaya seperti Jawa adalah high-context culture, di mana pembicaraan tentang seks, emosi, bahkan konflik dilakukan secara implisit. Tradisi gowok adalah solusi kultural atas kebutuhan yang tak bisa dipenuhi oleh sistem formal: pendidikan seks yang tidak memalukan, tidak vulgar, dan tidak mengancam harmoni sosial.

Di masa kini, masyarakat beralih ke "Kelas Pra Nikah" dan konten edukasi seks di media sosial. Tapi pertanyaannya, apakah ini cukup menjawab kebutuhan emosional, spiritual, dan simbolik sebagaimana dilakukan gowok? Atau justru kita kehilangan sesuatu yang bernilai karena terjebak dalam modernitas yang terlalu lugas?

Seksualitas, Agensi, dan Perempuan Jawa

Film ini juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan representasi perempuan. Dalam masyarakat Jawa tradisional, perempuan sering dikurung dalam peran "konco wingking" teman di belakang. Tapi dalam ruang yang sempit itu, mereka menemukan cara untuk berdaya. Seorang gowok bukan hanya guru seks, tapi mentor kehidupan. Ia memegang kuasa atas pengetahuan yang dianggap sakral dan krusial untuk keberlangsungan rumah tangga.

Agensi perempuan tak selalu harus muncul dalam bentuk frontal. Ia bisa hadir dalam bentuk simbolik, dalam relasi interpersonal yang asimetris, atau melalui transmisi pengetahuan yang tidak umum. Dengan mengajarkan seni memuaskan istri, gowok sedang menciptakan ruang politiknya sendiri, di balik layar dominasi laki-laki. Peran ini mengganggu struktur patriarkal, justru karena dilakukan dalam ruang yang tidak frontal.

Hanung secara gamblang menyatakan: "Orgasme adalah hak perempuan." Ini bukan sekadar slogan, melainkan pernyataan etis dan politis yang mengguncang tatanan nilai lama.

Film Sebagai Media Negosiasi Budaya

Gowok: Kamasutra Jawa berani mengangkat tema seks, bukan untuk mengejutkan, tapi untuk mendidik. Hanung memproduksi dua versi film: satu untuk 17+ dan satu versi "uncut" 21+, yang lebih bebas secara naratif dan visual. Tapi menariknya, film ini tidak menampilkan adegan vulgar. Seks ditampilkan puitis, estetis, bahkan mistis, melibatkan dewa cinta Kamajaya-Kamaratih, musik gamelan, dan set desa Jawa yang menenangkan.

Film ini bukan sekadar film yang membahas masa lalu, tapi juga cara kita hari ini memahami seksualitas, perempuan, dan budaya. Film ini mengangkat tradisi yang nyaris hilang, bukan untuk romantisasi, tapi sebagai cara membuka ulang percakapan yang selama ini kita bungkam sendiri. Di balik ceritanya, saya melihat keberanian untuk menyuarakan hal-hal yang kerap dianggap tabu: hak perempuan atas tubuhnya, pentingnya edukasi seks, dan peran budaya dalam membentuk cara kita mencintai.

Sebagian orang mungkin menganggap alur film ini terlalu rumit atau bercabang ke mana-mana. Tapi justru di situlah menariknya. Seks, sejarah, dan kebudayaan memang tidak bisa diringkas menjadi narasi yang lurus dan rapi. Film ini menampilkan banyak lapisan: spiritualitas, trauma, relasi kuasa, hingga emosi personal. Ia tidak menawarkan jawaban tunggal, melainkan mengajak kita berpikir, tentang bagaimana pengetahuan diturunkan, siapa yang punya kuasa atas tubuh, dan apa yang sebenarnya kita warisi dari kebudayaan itu sendiri.

Sinematografinya juga patut diapresiasi. Framing elegan, pemandangan desa, gamelan, serta kostum era 50-an menghadirkan suasana yang otentik. Kritik hanya pada eksekusi CGI, terutama pada adegan mistis, serta loncatan nada dari drama ke thriller yang dirasa tidak mulus.

Penutup: Warisan yang Layak Diperbincangkan

Gowok: Kamasutra Jawa bukan film mudah. Ia menantang, mengganggu, bahkan bisa dianggap kontroversial. Tapi justru itu letak nilainya. Ia membuka ruang diskusi yang terlalu lama dikunci.

Film ini bukan sekadar tentang seks, tapi tentang bagaimana masyarakat memandang tubuh, pengetahuan, dan kuasa. Lewat kisah seorang gowok, Hanung mengajak kita melihat seks bukan sebagai dosa atau hiburan, tapi sebagai bagian dari budaya, pendidikan, bahkan spiritualitas.

Di tengah gempuran konten instan dan clickbait tentang seksualitas yang vulgar, Gowok hadir sebagai tawaran alternatif: pendidikan seks yang berakar pada budaya, disampaikan dengan estetika, dan dikuatkan oleh narasi agensi perempuan.

Dan mungkin, di situlah letak kekuatan film ini, bukan pada adegan panas atau plot yang sempurna, tapi pada keberaniannya menjadikan seksualitas sebagai bahan refleksi kolektif. Sesuatu yang layak kita perbincangkan, bukan kita tutupi.

0 Komentar