Fenomena Rojali, Rohana, dan Robeli dalam Pandangan Dosen dan Peneliti UII

Featured Image

Fenomena Rojali, Rohana, dan Robeli: Kekuasaan Konsumsi dalam Ruang Sosial Urban

Dosen dan peneliti dari Universitas Islam Indonesia (UII) yang juga mengajar di Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Listya Endang Artiani, memberikan analisis mendalam terkait fenomena pengunjung mal dengan istilah seperti Rojali, Rohana, dan Robeli. Ketiga istilah ini tidak hanya menjadi viral karena lucu, tetapi juga mencerminkan pola konsumsi masyarakat urban yang kompleks.

Perubahan Fungsi Mal sebagai Ruang Konsumsi

Mal kini bukan hanya sekadar pusat perdagangan, melainkan ruang sosial-ekonomi multifungsi. Masyarakat datang ke mal bukan hanya untuk membeli barang, tetapi juga untuk membangun citra diri, menciptakan suasana, bahkan “membeli rasa berada di tengah modernitas”. Ini adalah bagian dari ritual sosial yang dikenal sebagai leisure class performance menurut teori Veblen.

Fenomena ini menunjukkan bahwa konsumsi bukan hanya keputusan rasional, seperti diasumsikan dalam ekonomi neoklasik. Justru, konsumsi sangat dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, dan politik. Dalam kerangka behavioural economics, perilaku konsumen sering kali dipengaruhi oleh norma sosial, tekanan kelompok, serta ekspektasi sosial.

Mal sebagai Medan Sosial-Ekonomi Baru

Transformasi fungsi pusat perbelanjaan menunjukkan hubungan antara ruang konsumsi dan tekanan sosial ekonomi yang dihadapi masyarakat urban. Mal kini berfungsi sebagai tempat pelarian psikologis dari tekanan hidup kota. Selain itu, mal juga menjadi “ruang rekreasi berbiaya rendah” di tengah terbatasnya ruang publik yang benar-benar gratis dan terbuka.

Pertanyaan krusial yang muncul adalah apakah yang kita saksikan di mal hari ini mencerminkan peningkatan kesejahteraan riil atau sekadar ekspansi gaya hidup semu? Dalam teori konsumsi permanen (Milton Friedman) dan teori pendapatan relatif (James Duesenberry), konsumsi bisa didorong oleh harapan masa depan atau tekanan untuk menjaga status relatif terhadap orang lain.

Aspirasi Konsumsi yang Melampaui Kapasitas Ekonomi

Di Indonesia, khususnya pasca-pandemi dan di tengah tekanan ekonomi global, konsumsi masyarakat sering kali bersifat aspiratif—berusaha mempertahankan citra “kelas menengah” meski realitas ekonominya belum tentu menopang hal itu. Data makro menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga memang meningkat, tetapi utang konsumsi (terutama dari paylater dan cicilan daring) juga melonjak.

Artinya, konsumsi tidak selalu ditopang oleh pendapatan, melainkan oleh ekspektasi dan tekanan sosial. Survei menunjukkan bahwa lebih dari separuh masyarakat Indonesia merasa dirinya "kelas menengah", meski berdasarkan indikator pengeluaran, hanya sekitar 20–30 persen yang masuk dalam kategori tersebut. Ini adalah tanda dari middle-class illusion, sebuah kondisi di mana aspirasi konsumsi melampaui kapasitas ekonomi riil.

Mal sebagai Cermin Perubahan Struktural

Mal sesungguhnya adalah cermin besar dari pergeseran struktural dalam masyarakat urban: mal memantulkan impian tentang kemakmuran, sekaligus kegelisahan tentang ketidakpastian ekonomi. Ketika pengunjung datang hanya untuk berjalan-jalan atau berfoto, kita tidak bisa serta-merta menyimpulkan bahwa mereka gagal sebagai konsumen.

Sebaliknya, kita justru perlu bertanya: mengapa konsumsi harus selalu dimaknai sebagai transaksi? Dan lebih jauh lagi, apakah ruang-ruang sosial kita hari ini memang hanya menyediakan eksistensi bagi yang mampu membayar?

Narasi Kecil yang Menyentuh Kegelisahan Besar

Fenomena viral seperti Rojali, Rohana, dan Robeli, jika dibaca lebih dalam, adalah narasi kecil yang menyingkap kegamangan besar: tentang keterbatasan, tentang aspirasi, dan tentang bagaimana masyarakat menavigasi ruang-ruang konsumsi dalam ketimpangan yang semakin terasa.

Untuk memahami ekonomi Indonesia hari ini, kita tak bisa hanya melihat angka inflasi atau PDB, tetapi juga harus melihat apa yang terjadi di mal karena di sanalah, realitas dan ilusi ekonomi saling bersinggungan.

0 Komentar