IISIA Waspadai Ancaman Ganda Baja RI: BMAD Tiongkok dan Tarif Trump

Featured Image

Outlook Industri Baja Indonesia di Semester II-2025

Industri baja nasional menghadapi tantangan signifikan dalam prospek bisnisnya pada semester kedua tahun 2025. Hal ini dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) yang berdampak pada perdagangan internasional, terutama terkait produk baja. Dampak dari perpanjangan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) dan tarif resiprokal menjadi fokus utama bagi pelaku industri.

Ketua Umum Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA), M. Akbar Djohan, menjelaskan bahwa perpanjangan BMAD akan memengaruhi daya saing ekspor baja tahan karat (stainless steel) asal Indonesia. Produk yang dikenai BMAD adalah semi finished billet SS dan Hot Rolled Coil (HRC) SS. Kedua produk ini menempati peringkat ketiga dan keempat setelah ferro alloy dan Cold Rolled Coil (CRC) SS.

Berdasarkan data ekspor, volume ekspor billet SS dari Indonesia ke Tiongkok pada tahun 2024 mencapai 343.000 ton atau senilai US$ 522 juta. Sementara itu, ekspor HRC SS ke Tiongkok mencapai 219.000 ton atau sekitar US$ 387 juta. Secara keseluruhan, Tiongkok tetap menjadi pasar terbesar untuk ekspor baja Indonesia. Hingga kuartal I-2025, total ekspor mencapai 5,47 juta ton dengan kontribusi Tiongkok sebesar 3,1 juta ton atau 56,5% dari total ekspor.

Selain Tiongkok, ekspor baja Indonesia juga mengarah ke Taiwan, Vietnam, Italia, dan India. Namun, ekspor ke pasar AS masih relatif kecil, hanya sebesar 76.000 ton atau 0,7% dari total ekspor. Meski jumlahnya kecil, pelaku industri tetap waspada terhadap kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump. Kebijakan ini berpotensi menutup akses pasar bagi eksportir baja, termasuk negara-negara anggota BRICS.

Dampak Kebijakan Internasional pada Industri Baja Nasional

Kebijakan tarif resiprokal tersebut dapat mengurangi daya saing harga produk baja dari negara-negara seperti Tiongkok, India, dan Rusia di pasar AS. Akibatnya, eksportir mungkin harus mencari pasar alternatif, termasuk Indonesia. Hal ini bisa berdampak pada persaingan harga yang tidak sehat di pasar domestik.

Dalam situasi ini, IISIA mengidentifikasi dua faktor utama yang akan memengaruhi prospek industri baja. Pertama, meningkatnya hambatan perdagangan yang memengaruhi daya saing produk baja di pasar ekspor. Kedua, potensi meningkatnya impor baja yang dapat mengancam industri nasional.

Namun, ada peluang yang bisa dimanfaatkan. Salah satunya adalah diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara non-tradisional. Dengan demikian, ketergantungan pada pasar yang mulai memberlakukan hambatan perdagangan dapat dikurangi.

Strategi yang Diusung Oleh IISIA

Untuk menghadapi tantangan ini, IISIA merumuskan dua strategi utama. Pertama, mendorong pelaku industri untuk memperkuat penjualan di dalam negeri. Selain itu, IISIA juga mendorong industri hilir agar lebih banyak menggunakan produk baja nasional sebagai bahan baku. Target substitusi impor minimal 20%–50% menjadi salah satu prioritas.

"Langkah ini penting untuk menjaga stabilitas permintaan di pasar domestik dan mengurangi ketergantungan pada produk impor," ujar Akbar.

Strategi kedua adalah diversifikasi pasar ekspor. Dengan mengurangi ketergantungan pada pasar tradisional, IISIA berharap dapat membuka peluang baru di negara-negara non-tradisional yang memiliki potensi pertumbuhan permintaan. Untuk mendukung langkah ini, IISIA menyarankan adanya dukungan pemerintah dalam bentuk fasilitasi akses pasar.

Dengan strategi ini, IISIA berharap industri baja Indonesia dapat tetap bertahan dan berkembang meskipun menghadapi tantangan dari kebijakan internasional.

0 Komentar