Kisah Pelaju Bintaro dan Rahasia Mengurangi Stres Perjalanan

Featured Image

Belajar Menikmati Perjalanan

Bagi jutaan warga Jabodetabek, kegiatan commuting atau rutinitas harian menempuh perjalanan dari rumah ke tempat kerja adalah hal yang tak terhindarkan. Setiap pagi, gerbong KRL dipenuhi wajah-wajah yang bersiap menghadapi hari. Namun, di balik hiruk pikuk itu, tidak jarang commuting justru menimbulkan stres—mulai dari waktu tempuh yang panjang, kepadatan penumpang, hingga energi yang terkuras sebelum sampai kantor.

Saya pun pernah merasakan semua itu. Selama lebih dari satu dekade, dari 2004 hingga akhir 2015, saya menjadi pelaju setia rute Bintaro-Jakarta Pusat dengan KAI Commuter Line. Sebuah periode yang penuh kenangan sekaligus pelajaran tentang bagaimana bertahan di tengah ritme commuting Jabodetabek.

Dari Mobil Pribadi ke Kereta Rel Listrik

Awal karier saya di Jakarta tidak banyak bersentuhan dengan transportasi umum. Selepas kuliah S1 di Bandung tahun 1989, saya memulai perjalanan kerja di ibukota dengan tinggal dekat kantor. Saat itu, mobil pribadi menjadi pilihan utama. Baru setelah bertugas ke daerah pada awal 2000-an, lalu kembali ke Jakarta pada 2004, hidup saya berubah.

Kali ini, rumah saya berada di Bintaro, sementara kantor tetap di pusat kota Jakarta. Menyadari betapa padatnya lalu lintas dan betapa melelahkannya berkendara setiap hari, saya pun mulai melirik Kereta Rel Listrik (KRL) sebagai moda transportasi harian. Meskipun pada masa itu fasilitas masih sederhana, tidak semua gerbong ber-AC, pintu kereta masih terbuka dengan suara bising, dan beberapa lintasan masih tunggal, saya tetap menjalaninya.

Tidak jarang, bila KRL penuh, saya menumpang Kereta Api jurusan Rangkas Bitung–Jakarta Kota yang juga berhenti di Bintaro.

Nostalgia di Gerbong: Komunitas, Tas Doraemon, dan Kisah Kecil Lainnya

Commuting bukan hanya soal berpindah tempat, tapi juga tentang cerita-cerita kecil yang menemani perjalanan. Saya ingat betul bagaimana terbentuk sebuah komunitas informal para penumpang Bintaro yang dikenal sebagai ROBIN (Rombongan Bintaro). Dari sekadar bertegur sapa, lama-kelamaan tercipta keakraban yang membuat perjalanan terasa lebih ringan.

Ada pula kenangan sederhana tapi membekas, seperti tas Doraemon yang hampir selalu saya bawa. Di dalamnya tersimpan segala perlengkapan "siaga" ala pelaju: payung, jas hujan, kotak makanan, hingga senter kecil. Bahkan, saya menyiapkan obeng dan pisau lipat, bukan untuk hal ekstrem, melainkan sebagai bentuk kewaspadaan, mengingat copet cukup sering berkeliaran pada masa itu. Senter pun pernah berguna ketika kereta tiba-tiba gelap karena lampu padam.

Transformasi KAI Commuter Line: Dari Berdesakan ke Nyaman

Seiring waktu, wajah transportasi rel Jabodetabek berubah. Sejak 2008, KAI Commuter Line semakin berbenah. Semua kereta mulai ber-AC, jalur ganda membuat perjalanan lebih lancar tanpa perlu menunggu kereta lawan arah di stasiun, dan suasana di dalam gerbong menjadi lebih bersih serta nyaman. Perubahan itu sangat terasa bagi saya yang sudah cukup lama menjadi saksi perjalanan KRL. Jika dahulu berdesakan adalah hal yang biasa, kini pelaju bisa menikmati perjalanan dengan lebih layak dan manusiawi.

Bahkan, setelah pensiun dini pada akhir 2015, saya masih sesekali naik KAI Commuter Line untuk bepergian di sekitar Jabodetabek. Bagi saya, kereta ini tetap menjadi moda transportasi yang nyaman, aman, dan efisien—jawaban terbaik untuk menghindari kemacetan, repot mencari parkir, dan stres di jalan.

Biar Commuting Tak Bikin Stres: Beberapa Cara yang Bisa Diterapkan

Pengalaman itu membuat saya percaya, commuting memang melelahkan, tapi bukan berarti harus selalu bikin stres. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan:

  • Manfaatkan Waktu dengan Positif: Mendengarkan musik, membaca buku, atau menulis catatan perjalanan adalah cara membuat waktu lebih produktif. Kini, podcast dan audiobook bisa jadi teman perjalanan yang menyenangkan.
  • Siapkan Mental dan Fisik: Tidur cukup, sarapan sehat, dan membawa botol minum sederhana tapi sangat membantu menjaga mood selama perjalanan.
  • Kelola Waktu dan Antisipasi: Berangkat lebih pagi sering memberi peluang untuk mendapatkan kursi kosong dan perjalanan yang lebih tenang.
  • Bangun Komunitas Kecil: Sesama pelaju bisa menjadi teman berbagi cerita. Ikatan ringan itu membuat perjalanan panjang terasa lebih singkat.
  • Nikmati Ritmenya: Commuting adalah bagian dari hidup urban. Saat kita bisa menerima dan menikmatinya, stres pun bisa ditekan.

Dari Pelaju ke Pembelajar Hidup

Kini, meski sudah tidak lagi setiap hari menjadi pelaju, kenangan itu tetap saya simpan sebagai bagian berharga dalam hidup. Commuting bukan sekadar perjalanan fisik dari Bintaro ke Jakarta Pusat, tapi juga perjalanan batin yang mengajarkan kesabaran, ketahanan, dan cara menghargai waktu.

Bagi para pelaju hari ini, jangan biarkan commuting hanya menjadi beban. Jadikan ia ruang transisi dari rumah ke kantor, dari penat ke semangat. Karena pada akhirnya, cara kita menjalani perjalanan akan sangat menentukan bagaimana kita menyambut hari.

Penutup: Bersyukur dan Optimis di Jalur Rel

Generasi pelaju masa kini mungkin tak lagi mengalami suasana berdesakan di gerbong panas tanpa AC, pintu kereta yang dibiarkan terbuka, atau jalur tunggal yang membuat kereta harus menunggu lama. KAI Commuter Line telah jauh berkembang lebih nyaman, lebih aman, dan lebih efisien dibanding satu atau dua dekade lalu.

Karena itu, mari kita syukuri perubahan positif ini. Nikmati perjalanan dengan hati yang lebih ringan, dan lihatlah commuting bukan sebagai beban, melainkan sebagai kesempatan untuk menata pikiran sebelum beraktivitas. Dengan sikap yang optimis dan rasa syukur, perjalanan harian pun bisa menjadi bagian indah dari hidup di kota besar.

0 Komentar