MSAka21: Aceh, Gayo, Alas - Akar Bahasa dan "Kain Palekat Satu Kodi"

MSAka21: Aceh, Gayo, Alas - Akar Bahasa dan "Kain Palekat Satu Kodi"

Hubungan yang Terjalin dalam Bahasa dan Sejarah

Bayangkan sehelai kain palekat yang berasal dari Madras, yang dulu sangat diminati oleh masyarakat Aceh. Kain ini dibungkus dalam satu kodi dengan warna-warna lembut yang tampak serupa. Bukan perbedaan corak halus yang menarik perhatian, melainkan keseragaman jumlahnya. Satu kodi berisi dua puluh helai kain yang terikat dalam satu bundel yang utuh.

Begitulah hubungan antara Aceh pesisir, Gayo, dan Alas. Ketiganya tampak berbeda dalam logat, adat, dan pakaian luar, tetapi diikat oleh sesuatu yang lebih dalam. Ada akar sejarah, bahasa, dan kebudayaan yang menjadikan mereka satu “kodi” masyarakat yang hidup dari tanah yang sama dan saling bernafas dalam irama masa lalu yang bertumpuk.

Hubungan antara masyarakat Aceh, Gayo, dan Alas sering dipahami dalam kerangka geografis semata. Satu di pesisir, dua di pedalaman. Namun, studi linguistik yang dilakukan oleh Juni Ahyar (2020), pengajar Universitas Malikusaleh, mengungkap kedalaman lain dari hubungan itu. Ia menggunakan analisis leksikostatistik, yaitu metode dalam linguistik untuk mengukur kekerabatan bahasa dengan membandingkan daftar kata dasar yang sama maknanya di dua atau lebih bahasa.

Semakin banyak kata yang mirip bentuk dan artinya, semakin dekat hubungan kekerabatannya. Teknik ini sering digunakan untuk menelusuri sejarah dan asal-usul bahasa. Dengan pendekatan leksikostatistik terhadap 300 kata dasar—kata-kata yang paling resisten terhadap perubahan karena mencakup bagian tubuh, elemen alam, relasi keluarga, angka, dan aktivitas dasar—Ahyar menunjukkan bahwa ketiganya lebih dari sekadar bertetangga. Mereka adalah rumpun yang lahir dari lapisan migrasi dan bahasa yang bertaut, terjalin sejak ratusan bahkan ribuan tahun silam.

Dari hasil perbandingan tersebut, ditemukan bahwa bahasa Gayo dan Aceh memiliki kemiripan sekitar 57 persen, Aceh dan Alas 53%, dan Gayo dan Alas 62%. Ini bukan sekadar angka linguistik. Ini adalah jejak migrasi manusia. Gayo dan Alas, yang mendiami dataran tinggi Bukit Barisan, memiliki hubungan linguistik yang paling erat. Kesamaan ini mengindikasikan bahwa keduanya berasal dari lapisan migrasi yang sama—yakni kelompok berbahasa Austroasiatik atau disebut pula sebagai Proto-Melayu Tua—yang lebih awal masuk ke wilayah pedalaman Sumatra sebelum gelombang Austronesia dari laut datang membawa bahasa dan kebudayaan baru ke pesisir.

Tidak menghapus yang lebih tua Sementara itu, hubungan antara Aceh pesisir dan dua kelompok pedalaman memperlihatkan persentase kemiripan yang sedikit lebih rendah. Ini mengisyaratkan bahwa meskipun berasal dari cabang migrasi yang berbeda, hubungan antara mereka tidak pernah benar-benar terputus. Interaksi berabad-abad, perdagangan, pernikahan antarwilayah, dan dinamika politik dari masa ke masa membentuk jaringan pertukaran dan pengaruh timbal balik yang membekas di dalam bahasa.

Bahasa Aceh pesisir, yang banyak dipengaruhi oleh lapisan Austronesia maritim, tidak menghapus sepenuhnya jejak yang lebih tua, melainkan menenun lapisan baru di atas yang lama—seperti menambahkan helai warna pada selembar kain tua yang diwariskan.

Realitas ini adalah hubungan yang luar biasa, bahkan hubungan bahasa Madura dan bahasa Jawa sekalipun yang dianggap banyak orang sangat dekat, ternyata terlalu jauh. Justeru Madura secara bahasa lebih dekat ke Sulawesi dan Kalimantan.

Dalam keseharian, bahasa bukan sekadar alat tukar informasi, melainkan jembatan rasa dan warisan tak kasatmata yang menyeberangkan makna dari satu generasi ke generasi lain. Seorang ibu di dataran tinggi yang memanggil anaknya, atau seorang petani di pesisir yang menyebut hujan yang datang, tengah menghidupkan kata-kata tua yang telah lama mendiami tanah ini.

Di dapur, di ladang, di tepi danau atau muara sungai, kata-kata dasar seperti untuk menyebut tubuh, langit, hujan, dan api mengalir dari bibir ke telinga dengan bunyi yang sedikit berbeda, tapi gema maknanya tetap serupa. Kata-kata ini ibarat fosil hidup—rekaman masa silam yang terus hadir dalam suara hari ini, seperti batu-batu di dasar sungai yang tetap dingin meski disinari matahari.

Tidak Sekadar Menamai Dunia

Dalam doa, pantun, dan teguran ratusan dan ribuan tahun, bahasa memperlihatkan bagaimana manusia Gayo, Aceh, dan Alas tidak sekadar menamai dunia, melainkan juga membentuk dan menghidupinya bersama-sama. Lebih menarik lagi adalah estimasi waktu pemisahan bahasa mereka. Aceh dan Gayo diperkirakan mulai berpisah sekitar tahun 601–835 M, yaitu masa munculnya kerajaan-kerajaan kecil di pantai utara Sumatra serta mulai aktifnya jalur perdagangan laut yang menghubungkan India, Persia, dan Nusantara.

Aceh dan Alas tampaknya mulai berbeda lebih awal, antara 422–676 M, memperlihatkan bahwa perbedaan itu muncul sebelum struktur sosial pesisir sepenuhnya berkembang. Uniknya, Gayo dan Alas justru mengalami pemisahan bahasa yang lebih belakangan, sekitar 805–1017 M, memperkuat dugaan bahwa mereka hidup berdampingan lebih lama. Mereka hidup dalam lingkungan sosial dan ekologis yang sama, bahkan setelah pengaruh-pengaruh pesisir mulai masuk dan membentuk lanskap budaya di luar dataran tinggi.

Narasi migrasi manusia ke wilayah ini adalah kisah panjang tentang keberanian berpindah dan kemampuan beradaptasi. Gelombang-gelombang awal yang membawa leluhur berbahasa Austroasiatik ke dataran tinggi adalah gelombang diam. Ia tak berkapal besar, tapi menembus hutan dan lembah dengan langkah kaki dan bunyi kata. Lalu datang gelombang berikutnya, dari utara dan timur—berbahasa Austronesia—membentuk jalur-jalur pesisir, membawa alat besi, struktur hierarki sosial, serta pola perkampungan yang lebih terbuka terhadap dunia luar. Mereka tidak menggantikan, tetapi bergabung dan saling meniru.

Relasi yang Tak Dapat Dibatasi

Makanya di Aceh, sejarah bukanlah garis lurus, melainkan anyaman rotan yang bertumpang, berpilin, dan saling menguatkan. Semua ini menunjukkan bahwa relasi antara Aceh pesisir, Gayo, dan Alas tidak dapat dibatasi oleh sekat-sekat administratif atau pembagian pesisir-pedalaman. Mereka adalah komunitas yang lahir dari migrasi yang berbeda, tetapi dihubungkan oleh sejarah panjang, ruang geografis yang bersebelahan, dan bahasa yang saling menyerap dan menyelusup.

“Persaudaraan” mereka bukan hasil kebijakan modern atau kebetulan geografis, melainkan tumbuh dari akar yang sama. Mereka lahir, hidup, dan mati di tanah yang satu, hutan yang sama, dan udara yang ditiup angin sejarah yang lembut tapi panjang.

Studi-studi leksikostatistik seperti yang dilakukan oleh Ahyar memperlihatkan kekuatan luar biasa dari bahasa sebagai pelacak jejak sejarah manusia. Dalam ketiadaan prasasti atau catatan tertulis, kata-kata dasar yang bertahan lintas abad menjadi fosil linguistik. Fosil itu memberi tahu kita dari mana sebuah kelompok berasal, kapan mereka berpisah, dan seberapa erat hubungan mereka dengan tetangganya.

Bahasa menyimpan memori kolektif yang lebih tua dari puisi, lebih jujur dari legenda, dan lebih jernih dari batas-batas yang digambar di peta. Politik tak ada apa-apanya dibandingkan bahasa, kecuali dalam berbohong.

Refleksi atas semua ini menuntun kita untuk menyadari pentingnya studi bahasa-bahasa minoritas dan warisan linguistik lokal. Karena di balik bahasa-bahasa itu tersembunyi lapisan-lapisan identitas, hubungan purba, dan pengetahuan dunia yang nyaris tak tampak.

Aceh, Gayo, dan Alas tidak hanya menawarkan keragaman adat dan logat, tetapi menyimpan peta terdalam tentang migrasi manusia, keretakan dan keterhubungan sosial, serta semangat hidup bersama dalam ruang budaya yang kompleks.

Ketika kata-kata lama masih diucapkan di dapur, di sawah, dan dalam syair adat, kita sedang menyaksikan sesuatu yang luar biasa yang selama ini kita abai. Ini semua adalah kelanjutan dari sejarah panjang yang telah menenun masyarakat ini menjadi satu kodi, bukan karena seragam, tetapi karena disatukan oleh akar yang sama, dan bahasa yang terus bertumbuh di atas tanah yang mereka sebut rumah.

Kita bisa saja memisahkan Aceh dari Gayo, atau Alas dari pesisir, dengan peta, dengan administrasi, bahkan dengan politik. Tetapi bahasa memegang ingatan yang lebih tua dari semua itu. Ia menyimpan kenangan saat manusia belum mengenal kerajaan, belum mencatat sejarah, hanya hidup dan menamai apa yang mereka lihat.

Dan dalam penamaan itu, mereka bersatu. Mereka satu kodi, dari satu tenunan yang sama, meski kini sudah disetrika dalam lipatan berbeda. Maka, memahami Aceh hari ini tidak cukup dengan memahami pusat kekuasaan atau jalan dagang semata. Kita harus mendengar gema yang lebih tua. Gema kata-kata dasar yang masih bergema dari kampung ke kampung, dari dataran tinggi ke pesisir, dari lembah Alas, Burni Telong, Peureulak, Teunom, Bakongan, Gosong Talaga, hingga Lhoknga Aceh Besar. Di sanalah akar sesungguhnya dari persaudaraan ini. Bukan pada lambang atau panji, tetapi pada kata—yang tak pernah lupa pada asalnya.

0 Komentar