
Pajak E-Commerce 0,5% Mulai Berlaku, Ini Kriteria Pedagang yang Terkena
Pemerintah Indonesia telah resmi menerapkan pajak e-commerce sebesar 0,5% terhadap para pedagang online. Aturan ini berlaku mulai dari Senin (14/7) dan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025. Aturan ini mencakup berbagai kriteria pedagang yang dikenakan pajak tersebut.
Kriteria Pedagang Online yang Dikenakan Pajak
Menurut PMK ini, pedagang dalam negeri yang dikenakan pajak adalah perorangan maupun badan usaha yang menjual barang atau jasa melalui platform e-commerce atau marketplace. Para pedagang ini harus menerima penghasilan melalui rekening bank atau jenis rekening keuangan lainnya. Selain itu, transaksi mereka harus menggunakan alamat internet protocol (IP) Indonesia atau nomor telepon dengan kode telepon Indonesia.
Aturan ini juga mencakup perusahaan jasa pengiriman, perusahaan asuransi, dan pihak lain yang melakukan transaksi dengan pembeli barang dan/atau jasa melalui e-commerce atau marketplace.
Selain itu, ada tiga kriteria utama yang menentukan apakah seorang pedagang dikenakan pajak:
- Pedagang dalam negeri perorangan yang memiliki peredaran bruto pada tahun pajak berjalan di atas Rp 500 juta.
- Penjual berupa badan usaha yang memiliki peredaran bruto pada tahun pajak berjalan di atas Rp 4,8 miliar.
- Pedagang dalam negeri yang beroperasi melalui marketplace, baik sebagai penjual maupun mitra layanan seperti jasa pengiriman.
Daftar Pedagang yang Bebas Pajak
Tidak semua pedagang online dikenakan pajak e-commerce 0,5%. Berikut beberapa kategori yang dibebaskan:
- Pedagang dalam negeri perorangan yang memiliki peredaran bruto di bawah Rp 500 juta. Meskipun demikian, mereka tetap harus menyampaikan informasi seperti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Alamat korespondensi, dan Surat pernyataan bahwa peredaran bruto mereka tidak melebihi batas tersebut.
- Penjualan jasa pengiriman/ekspedisi oleh pedagang dalam negeri yang merupakan wajib pajak orang pribadi, seperti ojek online (ojol) atau penyedia layanan transportasi digital.
- Penjualan barang/jasa oleh pedagang dalam negeri yang menyampaikan surat keterangan bebas pemotongan dan/atau pemungutan PPh.
- Penjualan pulsa dan kartu perdana yang tidak dikenakan pajak karena aturan tersendiri.
- Penjualan emas perhiasan, emas batangan, perhiasan yang bukan terbuat dari emas, serta batu permata yang dilakukan oleh pabrikan, pedagang, atau pengusaha emas.
- Pengalihan hak atas tanah dan bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli, yang akan ditangani melalui notaris.
Alasan Penerapan Pajak E-Commerce
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu, Rosmauli, menjelaskan bahwa latar belakang penerapan pajak ini adalah pesatnya perkembangan perdagangan melalui marketplace di Indonesia. Hal ini didorong oleh jumlah penduduk yang besar, tingginya penggunaan smartphone dan internet, serta kemajuan teknologi finansial yang memudahkan transaksi daring.
Rosmauli menambahkan bahwa ekosistem perdagangan digital semakin berkembang, sehingga diperlukan pengaturan yang mendorong kemudahan administrasi perpajakan. Aturan ini juga bertujuan menciptakan keadilan antara pelaku usaha digital dan konvensional. Praktik serupa sudah diterapkan di beberapa negara seperti Meksiko, India, Filipina, dan Turki.
Implementasi Bertahap
Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, menjelaskan bahwa aturan pajak e-commerce akan diterapkan secara bertahap. Tujuannya adalah untuk mengimbangi kesiapan pihak-pihak yang terlibat, termasuk marketplace dan pedagang.
“Kami sudah berkomunikasi dengan marketplace dan melakukan sosialisasi. Mereka juga butuh penyesuaian di sistem. Ketika mereka siap untuk implementasi, mungkin dalam satu sampai dua bulan ke depan, kami akan tetapkan mereka sebagai pemungut pajak,” ujar Yoga.
0 Komentar