
Generasi Z dan Tantangan Mempertahankan Nilai-Nilai Kebangsaan
Generasi yang tumbuh saat ini tidak lagi seperti generasi sebelumnya yang membaca buku sejarah di bawah pohon jambu atau menyanyikan lagu kebangsaan dengan semangat tinggi. Mereka adalah generasi yang terbiasa dengan notifikasi TikTok, sarapan sambil melihat Instagram, dan tidur sambil menonton YouTube. Inilah Generasi Z, yang lahir dan berkembang dalam era digital tanpa batas ruang dan waktu.
Mereka tidak perlu membaca buku sejarah untuk memahami revolusi atau menonton film dokumenter untuk mengenal tokoh penting seperti Soekarno. Cukup dengan sekali swipe, scroll, atau klik. Namun, di balik kemudahan itu muncul kekhawatiran: apakah nilai-nilai kebangsaan seperti Pancasila masih relevan dalam dunia yang kaya akan konten hiburan, tren Korea, atau meme politik?
Menurut temuan Populix, sebanyak 65% anak muda Indonesia merasa semangat nasionalismenya menurun, dan lebih dari 70% menyebut media sosial sebagai penyebab utamanya. Dalam studi GoodStats (Mei 2025), hampir 54% Gen Z mengaku tidak lagi memahami atau menerapkan nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena ini bukan hanya angka, tapi juga menjadi alarm sosial.
Ketika Pancasila hanya dikenang saat upacara atau muncul dalam soal ujian kewarganegaraan, maka nilai-nilainya tak lagi menjadi bagian dari darah dan daging bangsa—hanya menjadi teks yang kering dan mudah terlewat di ujung swipe.
Budaya yang Mengubah Perspektif
Bukan sepenuhnya salah mereka. Globalisasi tidak hanya membawa produk luar negeri, tetapi juga ideologi, cara hidup, dan sistem nilai yang secara tidak sadar diadopsi oleh generasi muda. Lagu K-pop lebih banyak didengar daripada lagu wajib nasional. Film Hollywood dan konten Netflix lebih mudah menyentuh hati daripada pidato Bung Karno yang kini dianggap retoris.
Di tengah banjir budaya tersebut, apakah kita pernah benar-benar memperbarui cara memperkenalkan Pancasila? Atau kita masih menggunakan metode lama: ceramah formal di kelas, hafalan sila-sila, atau poster di dinding sekolah?
Nasionalisme tidak bisa dipaksakan lewat jargon atau seremoni. Ia butuh narasi yang hidup. Generasi Z tidak percaya pada simbol, tetapi pada makna yang autentik, narasi yang jujur, dan aksi yang nyata. Sayangnya, negara sering tertinggal dalam membangun narasi tersebut.
Ruang Hidup Generasi Z
Ruang hidup Generasi Z bukan lagi forum diskusi fisik atau aula sekolah. Mereka hidup di ruang virtual—ruang yang cepat, visual, dan tanpa batas. Di sana, Pancasila harus hadir, bukan dalam bentuk dokumen mati, tetapi sebagai nilai yang dikemas ulang dalam narasi digital: dalam meme, video pendek, kuis interaktif, bahkan gamifikasi.
Kita membutuhkan influencer Pancasila. Bukan yang sekadar mengutip sila, tetapi yang menghidupi nilai-nilainya dan menyuarakannya dengan cara yang relevan. Pendidikan kebangsaan harus menyatu dengan realitas mereka—melalui konten visual, cerita inspiratif, dan diskusi terbuka yang jujur.
Menariknya, di pesantren-pesantren, semangat nasionalisme justru tetap hidup. Para santri diajarkan mencintai tanah air sebagai bagian dari iman.
Persepsi yang Salah dan Harapan
Kita juga tidak boleh salah paham. Banyak Gen Z yang memilih kuliah atau bekerja ke luar negeri, bukan karena benci Indonesia. Mereka mencari pengalaman, ilmu, dan kompetensi yang sering tidak mereka dapatkan di dalam negeri.
Kita gagal menyediakan ruang aktualisasi, gagal memberi apresiasi, dan gagal membuka partisipasi. Maka jangan salahkan anak muda jika mereka merasa Indonesia bukan lagi rumah yang nyaman.
Negara juga harus menghapus wajah korup dan represifnya. Bagaimana mungkin anak muda diajak mencintai negara, ketika negara sendiri tidak memberi contoh etika? Bagaimana mungkin mereka diajak menghayati keadilan sosial, jika yang mereka lihat adalah ketimpangan yang dilegalkan?
Harapan untuk Masa Depan
Kita tidak sedang kehilangan nasionalisme. Kita hanya gagal membacanya dalam format baru. Nasionalisme bukan hilang, tapi mencari bentuk baru: lebih cair, lebih kreatif, lebih kritis. Dan di situlah tantangan kita: bagaimana mengisi ruang itu dengan nilai Pancasila yang relevan, bukan retorika kosong yang basi.
Generasi Z bukan generasi yang apatis. Mereka hanya menunggu dipanggil dengan cara yang tepat. Mereka menunggu untuk diyakini, bukan diperintah. Mereka menunggu narasi yang jujur, bukan slogan yang hampa. Jika kita mampu menjawab tantangan itu, maka Pancasila tak akan tinggal di poster. Ia akan hidup—di jempol, di pikiran, dan di tindakan.
Kini saatnya kita bertanya: apakah kita akan terus membiarkan Pancasila tergeser oleh algoritma? Ataukah kita akan menanamkannya dalam memori generasi, dengan cara yang lebih cerdas, kreatif, dan manusiawi? Pancasila di ujung swipe bukan akhir. Ia bisa menjadi awal kebangkitan, jika kita cukup berani mendekap masa depan tanpa kehilangan akar.
0 Komentar