Refleksi 80 Tahun RI: Teladan Kejujuran Jenderal Hoegeng 'Masih Bisa Makan Nasi dengan Garam' Lawan Korupsi

Featured Image

Kembali Menjaga Nilai-Nilai Dasar Kemerdekaan

Menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, seorang tokoh yang pernah menjabat sebagai Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kabupaten Kuningan periode 2003-2006, Uha Juhana, mengajak seluruh elemen bangsa untuk merenungkan kembali nilai-nilai dasar perjuangan. Ia menekankan pentingnya kejujuran, integritas, dan kesederhanaan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Uha menyampaikan pandangannya melalui sebuah pernyataan yang ia sampaikan dengan nada serius. Ia memulai dengan kalimat sederhana namun penuh makna: “Kita masih bisa makan nasi dengan garam.” Kalimat ini, menurutnya, bukan hanya sekadar ungkapan kesahajaan, tetapi juga prinsip hidup yang diwariskan oleh tokoh hebat dalam sejarah kepolisian Indonesia, yaitu Jenderal Hoegeng Imam Santoso.

“Kalimat itu bukan sekadar kata-kata. Ini adalah tamparan bagi siapa pun yang tergoda menjadikan jabatan sebagai mesin pencetak uang,” ujarnya. Dalam momen peringatan kemerdekaan, ia berharap seluruh rakyat Indonesia dapat bertanya pada diri sendiri: untuk siapa dan apa kemerdekaan ini kita teruskan?

Jenderal Hoegeng: Simbol Kejujuran yang Mulai Terlupakan

Uha menilai bahwa sosok seperti Jenderal Hoegeng kini semakin langka, bahkan nyaris hilang dari panggung kepemimpinan nasional. Ia mencontohkan bagaimana Jenderal Hoegeng mampu menjadi Kapolri sambil tetap hidup sederhana. Ia menolak suap, menolak fasilitas, dan tidak menumpuk kekayaan.

“Ini bukan soal jabatan, tapi soal jiwa merdeka,” katanya. Ia menilai bahwa saat ini bangsa ini sedang mengalami krisis keteladanan. Di tengah gempuran budaya instan, masyarakat cenderung percaya bahwa sukses harus diukur dengan kekayaan, tanpa memperhatikan cara mencapainya.

“Kita lupa bahwa kehormatan lebih penting dari kemewahan. Bahwa bisa tidur tenang karena jujur jauh lebih berharga daripada tidur di rumah mewah tapi hati gelisah,” tambahnya.

Peran Generasi Muda dalam Memperkuat Kepribadian Bangsa

Sebagai mantan aktivis mahasiswa, Uha juga menyoroti pentingnya peran generasi muda dalam menjaga semangat perjuangan. Ia berharap para mahasiswa tidak hanya menjadi penonton, tetapi aktif dalam membangun kembali semangat Marhaenisme, yaitu semangat memperjuangkan rakyat kecil dan hidup dengan prinsip, bukan nafsu.

Ia menilai bahwa nilai-nilai yang dulu diperjuangkan oleh Bung Karno dan para pendiri bangsa tidak boleh lenyap di tengah hiruk-pikuk digital dan budaya konsumtif. “Mahasiswa jangan hanya sibuk urusan pribadi. Bangun kembali semangat bela rakyat kecil dan hidup dengan prinsip,” tegasnya.

Refleksi HUT ke-80 RI: Kembali ke Akar, Bukan Pesta Semata

Menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan, Uha mengajak seluruh warga Indonesia untuk menjadikan momen ini sebagai waktu refleksi, bukan sekadar merayakan. Ia menekankan pentingnya self-audit dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, sekecil apa pun peran seseorang dalam masyarakat.

“Bangsa ini tidak kekurangan orang pintar. Tapi kita sedang kekurangan orang jujur. Mari kita mulai dari diri sendiri. Selesaikan tugas kita—sebagai guru, petani, pedagang, pejabat—dengan kejujuran,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa jika seseorang hanya bisa makan nasi dan garam, itu bukan masalah. Yang terpenting adalah kehalalan dan kebersihan.

Di tengah perayaan yang penuh gegap gempita, suara Uha mengingatkan kita pada satu hal penting: bahwa makna kemerdekaan bukan hanya tentang bebas dari penjajahan, tetapi juga tentang berani hidup dengan benar, meski sederhana.

0 Komentar