
Kemerdekaan dan Tantangan Pendidikan di Indonesia
Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, begitulah bunyi pembukaan konstitusi UUD 1945. Perjuangan para pendahulu baik yang tertulis sebagai pahlawan kemerdekaan maupun yang tidak tertulis dalam buku-buku pelajaran sekolah harus kita syukuri sebagai nikmat. Berkat proklamasi kemerdekaan yang direbut dan dipaksakan tanpa menunggu janji pemberian hadiah dari penjajah, siswa-siswi di seluruh tanah air hari ini dapat sekolah menggunakan seragam yang sama, tanpa memandang dia anak orang kaya atau miskin, anak pejabat atau anak petani, anak bangsawan atau rakyat biasa. Guru-guru honorer dapat mengajar bebas, para buruh dan tenaga kerja dapat bekerja dengan lancar, dan seluruh umat beragama dapat ibadah dengan tenang. Itu lah segelintir dari nikmat kemerdekaan yang dapat kita rasakan.
Kemerdekaan Indonesia adalah berkat rahmat Allah dan cita-cita para luluhur. Bukankah agama mengajarkan ummatnya untuk meyakini bahwa segala sesuatu didunia ini sudah ditetapkan oleh Tuhan. Meskipun banyak orang soleh mengatakan hanya do`a yang mampu mengubah takdir. Ihktiar para pejuang merebut kemerdekaan merupakan cita-cita bersama meskipun diantara mereka terjadi perbedaan pandangan tentang Indonesia masa depan.
“Kemerdekaan hanyalah milik kaum elite yang mendadak bahagia menjadi borjuis, suka-cita menjadi amtenar. Hanya para pemimpin yang akan mengalami kemerdekaan, karena hanya mereka adil makmur itu dirasakan. Sampai kapanpun bangsa ini tidak akan pernah merdeka secara utuh”. Begitulah sepenggal kalimat Tan Malaka kepada Soekarno, Hatta, Syahrir dan Agus Salim yang membuat mereka tertegun merenung tanpa kata.
Namun demikian, para tokoh perjuangan sepakat bahwa kemajemukan Indonesia sebagai sebuah bangsa ibarat satu rumah yang tersusun dari berbagai material yang berbeda, sehingga membuatnya menjadi bangunan kuat dan kokoh.
Upacara Bendera Peringatan 80 Tahun Proklamasi Kemerdekaan
Tepat pada Minggu 17 Agustus 2025, bertanda 80 tahun sudah Indonesia merdeka. Meskipun Belanda mengakui dan menyerahkan kemerdekaan secara paripurna kepada pemerintah Indonesia 2 November 1949. Tapi seluruh pegawai pemerintah, guru, siswa, karyawan hingga warga desa turut serta dalam pengibaran upacara bendera. Apalah arti kemerdekaan, ketika hari-hari ini kekhawatiran demi kekhawatiran para pejuang kemerdekaan sedikit demi sedikit mulai terlihat.
Sebagaimana dijelaskan di atas, menjelang kemerdekaan Tan Malaka berdebat dengan Bung Karno tentang makna kemerdekaan. Bung Karno juga pernah mengatakan bahwa tugasnya jauh lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi Indonesia masa depan justru akan dijajah oleh orang-orangnya sendiri. Fakta ini mulai sering terlihat di pelbagai percakapan media sosial hingga stasiun TV nasional. Oknum pejabat negara korupsi sampai tak masuk akal hingga ratusan triliun rupaih.
Tak mampu terbayangkan, ketika di Provinsi NTB saja hanya memiliki Anggaran Daerah (APBD 2025) 6 Triliun/tahun, maka berapa puluh provinsi hingga juta manusia yang bisa diberi makan dengan uang sebanyak itu. Belum lagi, oknum pejabat pusat dan daerah yang berwatak feodal mencoba menjalankan negara seperti pejabat dimasa kerajaan. Seringkali mereka lupa bahwa sejatinya mereka adalah pelayan dengan rakyat adalah tuannya.
Padahal gaji yang meraka pergunakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan dasar makan hingga pakaian adalah akumulasi dari pajak yang dikeluarkan oleh rakyat. Begitulah kemerdekaan yang dikritik Tan Malaka diawal menjelang proklamasi kemerdekaan. Bahwa kemerdekaan nantinya akan dinikmati hanya oleh segelintir elit saja.
Akankah Pendidikan Kita Sudah Merdeka, Nasib Guru dan Siswa?
Di dalam ruang kelas ketika guru bertanya pada siswa, kapan Indonesia merdeka? Maka sebagian siswa menjawab 17 Agustus 1945. Sebagiannya lagi memilih diam karena tidak tahu, ada juga yang memilih diam karena malas. Tipe siswa semacam ini biasanya hanya datang ke sekolah sebagai kegiatan rutinitas semata.
Tidak diniatkan betul dari rumah, biasanya karena desakan orang tua mereka datang sampai ke sekolah. Maka disinilah tugas seorang guru sebagai pendidik mulai diuji. Tiap sekolah tentu mempunyai tantangan yang berbeda. Sekolah di kota-kota besar tentu tantangannya akan sangat berbeda dengan sekolah di desa-desa terpencil. Baik itu pada siswa maupun nasib gurunya.
Anda bisa bayangkan kondisi guru yang masih honor se tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) misalkan. Mereka mendapatkan gaji dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) tergantung jumlah siswa yang ada disekolah tersebut dengan perhitungan jumlah jam mengajar (JJM). Biasanya tertulis Rp. 40.000/jam. Sehingga, jika mendapatkan 12 jam (JJM)/minggu, maka upah mereka menjadi Rp. 40.000 x 12 = Rp.480.000/minggu. Rp.480.000/minggu x 4 = Rp. 1.920.000/bulan, ini yang seharusnya didapatkan.
Akan tetapi, ironisnya para guru honorer sejatinya tidak mendapatkan sebagaimana yang tertulis. Nyatanya, yang terjadi seorang guru honorer dalam satu minggu mengajar 12 jam, hanya mendapatkan gaji Rp. 480.000 per bulan. Dengan rincian, Rp 40.000 x 12 (JJM) = Rp. 480.000/Minggu. Sehingga, PBM 3 (tiga) minggu lainnya terhitung gratis atau sedekah ke negara. Jika diakumulasi secara keseluruhan, Rp. 40.000/jam x 12 (JJM) = Rp.480.000 : 4 minggu = Rp.120.000/minggu : 12 (JJM) = Rp. 10.000/Jam Mengajar.
Ini artinya seorang guru honorer di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) hanya mendapatkan gaji Rp.10.000/jam mengajar. Bagaimana dengan sekolah-sekolah ditingkat yang lebih rendah seperti SMP, SD dan TK. Mungkin saja jauh lebih rendah. Anda bisa bayangkan sendiri, bagaimana kualitas Pendidikan kita bisa meningkat ketika para guru masih bingung esok mau makan apa, dengan gaji hanya Rp. 10.000/jam.
Apakah ini yang kita sebut merdeka? Kesenjangan kesejahteraan yang sangat mencolok. Padahal tugas negara adalah menjamin supaya tidak ada satu warga negara yang berpendapatan Rp. 500.000.000/bulan sedangkan yang lainnya hanya mampu mendapatkan Rp. 500.000/bulan. Jika ini terjadi maka, negara kesejahteraan (welfare state) masih jauh panggang dari api.
Dampak Kesejahteraan Guru Terhadap Kualitas Pendidikan
Tingkat kesejahteraan guru yang masih banyak jauh dari harapan ini berdampak pada kualitas guru dan siswa. Guru tidak akan mampu mengajar dengan tenang ketika untuk memenuhi kehidupan pangan hari esok pun masih bingung. Sehingga, proses transfer of knowledge tidak berjalan maksimal. Murid datang ke sekolah hanya untuk mencatat bukan berdiskusi, hanya untuk menghafal bukan bertanya, hanya untuk lulus bukan untuk faham. Lalu kita sebut itu sebagai pendidikan?. Kegiatan semacam ini membutuhkan energi yang ada pada diri seorang guru yang sudah terbebas dengan urusan perut esok mau makan apa. Sehingga, banyak guru honorer terutama yang lebih fokus mencari pendapatan tambahan menjadi tukang ojek, peternak, petani, pedagang, dan lainnya, sehingga profesi guru hanya jadi pekerjaan sampingan. Dengan demikian, bagaimana mau menuntut kualitas siswa pada guru dalam kondisi di atas.
Berdasarkan laporan Program for Internasional Student Assesement (PISA) yang dirilis tiap tiga tahun sekali, pada tahun 2022 Indonesia berapa diurutan 69 dari 80 negara anggota. Program penilaian ini mengukur kemampuan siswa setingkat SMA dalam hal Literasi, Numerasi dan Sains. Hasilnya terbilang masih belum memuaskan.
Siswa Indonesia berada diurutan 11 terbawah, bahkan tertinggal cukup jauh dengan Vietnam dan Brunai. Di level Asia Tenggara pun siswa Indonesia berada di level 4 terbawah (goodstats.id). Bagaimana tidak, dibanyak sekolah se tingkat menengah atas juga masih terdapat banyak siswa yang belum lancar membaca. Jika kemampuan literasi membaca saja masih belum lancar bagaimana bisa faham akan substansi materi apa yang dibaca.
Di sekolah, ruang kelas seringkali penuh dengan suara satu arah, murid hanya mencatat, sesekali intrupsi angkat tangan tapi bukan untuk bertanya melainkan untuk izin ke toilet. Ruang kelas yang baik bukanlah kelas yang sunyi, tapi memberi ruang bagi semua untuk bertanya, menanggapi dan mencari tau. Begitulah pendidikan tumbuh, bukan dari satu suara tapi keberanian mendengarkan dan merespon. Siswa tidak hanya disuruh menulis dan menghafal, tapi juga berdiskusi dan berdialog.
Dengan begitu, siswa akan tau cara mengajukan pertanyaan, berani menyanggah, menyampaikan pendapat dan bernalar. Belum lagi perpustakaan sering kali terlihat rapi, menandakan siswa jarang berinteraksi dengan buku-buku didalamnya. Perpustakaan menjadi ruang yang paling membosankan bagi siswa, padahal dari ruangan itulah seluruh hasil pemikiran dan ilmu terkumpul untuk dikembangkan.
0 Komentar