Gaduh Peningkatan PBB di Seluruh Daerah, Sampai Kapan?

Featured Image

Kenaikan PBB-P2 yang Memicu Protes di Berbagai Daerah

Beberapa wilayah di Indonesia sedang menghadapi ketidakpuasan terkait kenaikan pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Masalah ini menimbulkan perdebatan publik, terutama karena kenaikan yang sangat signifikan dan tidak dijelaskan secara transparan.

Salah satu contoh adalah seorang wajib pajak di Cirebon, Jawa Barat. Pada tahun 2023, ia membayar pajak sebesar Rp93,9 juta untuk properti dengan luas tanah 10.000 meter persegi dan bangunan seluas 625.000 meter persegi. Namun, pada tahun 2024, jumlah tersebut tiba-tiba melonjak menjadi Rp369,3 juta—lebih dari empat kali lipat. Hal ini membuat banyak orang merasa tidak puas, karena tidak ada penjelasan yang jelas tentang dasar perhitungan baru ini.

“Ini lonjakan yang sama sekali tidak rasional. Kami tidak mendapat penjelasan transparan dari pemerintah mengenai dasar perhitungan baru ini,” ujar sumber yang memilih tetap anonim. Ia menyatakan bahwa kenaikan ini menciptakan ketidakpastian dan kecemasan bagi masyarakat yang memiliki aset besar di daerah perkotaan.

Hingga saat ini, pemerintah Kota Cirebon belum memberikan penjelasan rinci mengenai alasan kenaikan pajak tersebut. Beberapa pejabat daerah memilih untuk tidak berkomentar, sementara warga mulai mengadakan forum diskusi untuk meminta klarifikasi.

Kenaikan pajak yang ekstrem ini bukanlah hal baru. Sebelumnya, kebijakan serupa juga telah memicu protes publik di berbagai daerah. Di Pati, Jawa Tengah, misalnya, kenaikan pajak mencapai 250%. Sementara itu, Cirebon awalnya berencana menaikkan pajak hingga 1.000%, namun akhirnya membatalkan kebijakan tersebut.

Daftar Wilayah yang Menaikkan PBB-P2

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyebutkan bahwa ada 20 daerah yang mengerek tarif PBB-P2 di atas 100%. Salah satunya adalah Pati, Jawa Tengah. Ia menjelaskan bahwa kenaikan ini merupakan konsekuensi dari Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD).

UU ini memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak dan retribusi di wilayahnya. Aturan turunan dari UU HKPD, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 35/2023, menegaskan bahwa pemungutan pajak dan retribusi daerah termasuk NJOP serta PBB-P2 harus berlandaskan peraturan daerah (perda). Besaran tarifnya diatur dalam peraturan kepala daerah.

Tito menjelaskan bahwa beberapa daerah menaikkan tarif PBB-P2 karena adanya penyesuaian NJOP yang dapat dilakukan setiap tiga tahun sekali. Penyesuaian ini mengikuti harga pasar, sehingga membuat PBB-P2 ikut terkerek naik. Namun, aturan ini juga menyertakan klausul penting, yaitu harus mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan partisipasi dari masyarakat.

Dari 20 daerah yang diketahui menaikkan tarif PBB-P2, dua di antaranya—Pati dan Jepara—telah membatalkan peraturan kepala daerah ihwal kenaikan tarif tersebut. Selain itu, ada tiga daerah lain yang baru membuat peraturan daerah (perda) untuk menaikkan tarif PBB-P2 pada 2025. Sementara 15 daerah lainnya telah menerbitkan aturan soal kenaikan tarif PBB-P2 sejak 2022 hingga 2024.

Tidak Ada Hubungan dengan Efisiensi Anggaran

Tito juga membantah bahwa efisiensi anggaran belanja pemerintah pusat yang diberlakukan sesuai Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025 secara tidak langsung mendorong kenaikan tarif PBB di daerah-daerah. Inpres ini mengatur efisiensi anggaran belanja negara 2025 sebesar Rp306,6 triliun, yang terdiri dari Rp256,1 triliun belanja pemerintah pusat dan Rp50,59 triliun transfer ke daerah.

“Artinya tidak ada hubungannya, 15 daerah, tidak ada hubungannya dengan efisiensi yang terjadi di tahun 2024. Nah jadi sekali lagi inilah inisiatif baru dari teman-teman daerah, hanya lima daerah yang melakukan kenaikan NJOP dan PBB di tahun 2025. Yang lainnya 2022-2024,” kata Tito.

0 Komentar