
Peran Gereja Katolik dalam Sejarah dan Masa Kini
Gereja Katolik memiliki peran penting dalam berbagai momen besar sejarah dunia. Prinsip universalitas kekatolikan terlihat jelas dalam peristiwa seperti penghentian penyerangan Attila Hun, Perjanjian Tordessilas, Perang Dunia II, runtuhnya Tembok Berlin, isu perubahan iklim, hingga kehadiran Metaverse. Sejak era Renaissance, Gereja Katolik telah berupaya menjadi aktor pembawa damai yang mampu menstabilkan situasi peperangan, memengaruhi para pemimpin dunia untuk memilih jalan damai, serta menyampaikan pesan-pesan perdamaian.
Di Indonesia, agama Katolik tidak lahir secara langsung akibat penjajahan bangsa Portugis, melainkan dikenal oleh masyarakat karena karya para misionaris. Mereka hadir di tengah-tengah masyarakat marjinal dengan memberikan pendidikan sosial-budaya. Para misionaris ini mengabdikan hidup mereka di pelosok desa, membantu masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Nama-nama besar seperti Santo Fransiskus Xaverius, Romo Fransiskus Van Lith, Romo Cornelis Le Cocq d’Armandville, dan Romo Dionysius Donders sering disebut dalam sejarah.
Upaya para misionaris ini dilakukan dengan tulus dan ikhlas, yaitu untuk mendidik rakyat Indonesia dalam membaca, menulis, berhitung, serta meningkatkan pemahaman tentang dunia sosial-budaya. Tujuan utamanya adalah agar masyarakat semakin mencintai jati diri sebagai bangsa Indonesia dan memahami profesi masing-masing bukan untuk memperkaya diri sendiri, tetapi untuk kemaslahatan umat manusia (bonnum commune).
Di Jakarta, peran para misionaris dapat dilihat dari sejarah perkembangan kota ini. Pada masa Hindia-Belanda, jejak para misionaris Katolik mulai tercatat, termasuk kehadiran Ordo Jesuit, Ordo Fransiskan, dan Ordo Hati Kudus (MSC). Pada tahun 1842, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) didirikan, dan pada tahun 1901, gedung Gereja Katedral Jakarta (Paroki Santa Maria Diangkat ke Surga) diresmikan.
Selain itu, sejarah pendirian sekolah-sekolah Katolik juga mencerminkan kontribusi para misionaris. Misalnya, Suster Ursulin sudah berada di Jakarta sejak abad ke-19 (tahun 1859), kemudian Suster Regina Pacis dan Suster Charitas. Kesuksesan mereka dalam bidang pendidikan juga didukung oleh para Bruder.
Dari perspektif warisan pertahanan (defense heritage), sulit untuk membayangkan para pejuang Nusantara dan tokoh bangsa Indonesia tidak pernah bersinggungan dengan misionaris Katolik. Mereka tersebar di seluruh pelosok Nusantara dan telah tercatat dalam literatur sejarah Indonesia. Setidaknya, para pejuang kita pasti pernah berinteraksi dengan para misionaris ini.
Peristiwa rapat Sumpah Pemuda di Katedral merupakan hasil dari proses bertahun-tahun para misionaris Katolik yang berkontribusi tanpa imbalan di bumi Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa dalam pengaruh Gereja Katolik dalam sejarah perjuangan bangsa.
Pada 3-7 November 2025 nanti, Gereja Katolik Indonesia akan kembali menggelar Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI), yang merupakan pertemuan rutin lima tahun sekali. SAGKI kali ini akan membawa semangat pembaruan iman dan sinodalitas bersama umat (Mirifica, 2025).
Dengan melihat fakta sejarah bahwa Gereja Katolik berperan dalam terjadinya rapat Sumpah Pemuda, maka diharapkan dalam SAGKI nanti, Gereja Katolik dapat lebih fokus pada isu-isu kekinian yang berpotensi menjerumuskan anak muda, seperti perjudian online (judol), bullying, crypto crime, maupun ide-ide ultra-nationalist dan ultra-liberalisme. Dengan demikian, Gereja Katolik dapat terus menjadi pilar penting dalam menjaga nilai-nilai kebenaran dan keadilan di tengah dinamika dunia modern.
0 Komentar