Batik Bantengan: Perjuangan Anjani Sekar Arum dalam Melestarikan Seni dan Pemberdayaan Masyarakat


Batik Bantengan, sebuah karya seni unik dari Kota Batu, Malang, menjadi bukti bahwa tradisi dapat dihidupkan kembali melalui tangan-tangan yang penuh bakat dan ketekunan. Di balik keberhasilan batik ini, berdiri seorang perempuan muda bernama Anjani Sekar Arum, seorang seniman batik yang telah berjuang sejak tahun 2014 untuk melestarikan warisan budaya Indonesia sambil memberdayakan komunitasnya.

Batik Bantengan lahir dari kecintaan Anjani terhadap seni tradisional yang sudah mengalir dalam darahnya. Dibesarkan di lingkungan yang dekat dengan seni, ia mewarisi bakat seni dari sang ayah, yang merupakan seorang pelukis. Namun, bagi Anjani, bakat saja tidak cukup. Ia mengejar pendidikan di Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, untuk mengasah keterampilan dan pengetahuannya dalam dunia seni batik. Pendidikan formal ini kemudian menjadi pondasi penting dalam perjalanan kariernya sebagai seniman batik.

Batik Bantengan, yang dinamakan berdasarkan seni budaya Bantengan khas Kota Batu, menjadi identitas baru bagi kota tersebut. Anjani memulai usahanya dengan mendirikan Sanggar dan Galeri Batik Andaka di Batu pada Agustus 2014. Dengan keinginannya untuk melestarikan budaya lokal, Anjani tidak hanya menciptakan batik untuk dikomersilkan, tetapi juga mendirikan komunitas batik cilik yang berfokus pada pembelajaran kebudayaan lokal.

Dalam wawancara pada 2022, Anjani mengungkapkan kekhawatirannya terhadap minimnya corak batik khas di daerah asalnya. "Bagi saya, batik adalah identitas yang dimiliki oleh setiap daerah seluruh Indonesia. Oleh karena itu, saya prihatin jika kota saya sendiri tidak memiliki corak batik yang khas," katanya. Keprihatinan inilah yang mendorongnya untuk menciptakan Batik Bantengan sebagai salah satu solusi.

Perjuangan Awal yang Penuh Tantangan


Perjalanan Anjani dalam dunia batik tidaklah mudah. Meski sudah mulai berkarya sejak 2010, baru pada 2014 ia mendapatkan kesempatan besar untuk memamerkan karya Batik Bantengan. Pameran perdananya menjadi titik balik yang penting. Dari 54 lembar kain batik yang dipamerkan, hanya satu lembar yang tersisa, sebuah tanda bahwa karyanya diminati oleh publik.

Namun, tantangan yang lebih besar muncul ketika Anjani diundang untuk memamerkan batiknya di Praha, Republik Ceko. Istri Walikota Batu, Dewanti Rumpoko, memberi Anjani kesempatan emas ini, tetapi waktu yang tersisa hanya dua pekan sebelum acara dimulai. 

Dalam keterbatasan waktu tersebut, Anjani hanya mampu menghasilkan sepuluh lembar batik. Lebih dari itu, ia juga menghadapi kesulitan dalam menemukan pembatik yang memiliki komitmen terhadap seni, bukan sekadar bekerja demi penghasilan. Tantangan ini semakin menguji tekad Anjani untuk terus memperjuangkan batik yang bermakna lebih dari sekadar motif di atas kain.

Mengembangkan Sanggar dan Melahirkan Generasi Baru Pembatik


Nasib baik berpihak pada Anjani. Pada 2015, ia bertemu dengan Aliya, seorang gadis berusia sembilan tahun yang menunjukkan ketertarikan besar terhadap seni membatik. Pertemuan ini menjadi momen penting dalam perjalanan Batik Bantengan. Anjani kemudian memutuskan untuk membimbing Aliya dan anak-anak lain di daerahnya, membentuk generasi pembatik baru yang peduli terhadap warisan budaya lokal.

Hingga kini, sudah ada 58 anak yang belajar di Sanggar Andaka, dan 28 di antaranya telah menjadi pembatik aktif. Anjani tidak hanya berperan sebagai seniman, tetapi juga sebagai pendidik yang berusaha menanamkan kecintaan pada seni tradisional kepada generasi muda. Dengan mendidik anak-anak ini, Anjani berharap bahwa seni batik tidak akan punah, melainkan terus berkembang dan bertahan di tengah arus modernisasi.

Setiap bulan, sanggar yang dimiliki Anjani memproduksi sekitar 45 lembar kain batik. Harga batik tersebut bervariasi antara Rp 300 ribu hingga Rp 750 ribu, tergantung pada motif dan tingkat kerumitannya. Meskipun hasil karyanya dijual dengan harga yang cukup tinggi, Anjani hanya mengambil 10 persen dari penjualan sebagai upah pribadi. Sisanya diberikan kepada para pembatik cilik sebagai bentuk pemberdayaan ekonomi. Langkah ini menunjukkan betapa besar komitmen Anjani terhadap pemberdayaan masyarakat, terutama anak-anak di lingkungan sekitarnya.

Dedikasi dan Pengorbanan untuk Komunitas



Tidak hanya fokus pada seni dan pendidikan, Anjani juga memberikan perhatian besar pada pembangunan komunitas. Sanggar Andaka, yang menjadi rumah kedua bagi anak-anak pembatik, sering kali dioperasikan dengan dana pribadi Anjani. Sebagai seorang guru honorer di SMPN 1 Batu, Anjani menggunakan gaji kecilnya untuk menutupi biaya operasional sanggar. Dedikasi ini menunjukkan betapa besar komitmen Anjani terhadap visinya untuk menciptakan komunitas yang kuat dan berdaya melalui seni batik.

Penghargaan dan Inspirasi


Dedikasi Anjani terhadap seni batik dan pemberdayaan masyarakat tidak hanya mendapat apresiasi dari komunitas lokal, tetapi juga dari tingkat nasional. Pada 2017, Anjani dianugerahi SATU Indonesia Awards dalam kategori Kewirausahaan. Penghargaan ini menjadi bukti nyata bahwa usaha keras Anjani selama bertahun-tahun telah membuahkan hasil yang luar biasa. 

"Usaha ini juga membawa saya dalam menerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2017 dan itu merupakan penghargaan yang membuat saya jadi lebih semangat," ujarnya.

Kisah Anjani Sekar Arum dan Batik Bantengan adalah contoh nyata bagaimana seni tradisional dapat menjadi alat untuk memberdayakan masyarakat. Tidak hanya sebagai sarana ekspresi seni, batik juga menjadi jembatan untuk memperkuat ekonomi komunitas dan memberikan kesempatan kepada mereka yang kurang beruntung. Dengan cinta, keahlian, dan ketekunan, Anjani telah membawa perubahan positif dalam hidupnya sendiri dan masyarakat sekitarnya.

Batik Bantengan kini tidak hanya menjadi warisan budaya Kota Batu, tetapi juga menjadi simbol ketekunan dan pemberdayaan yang terus hidup dan berkembang.

0 Komentar