Secangkir Kopi Nusantara: Rasa dan Budaya yang Bersejarah

Featured Image

Sejarah dan Keunikan Kopi di Indonesia

Hari mulai senja, setelah berkeliling daerah cagar budaya Lasem, rasa lelah mulai menghampiri. Ternyata, Lasem memiliki tradisi kopi yang unik, disebut kopi lelet. Ampas sisa minuman digunakan sebagai "tinta" untuk melukis di batang rokok. Tradisi ini sudah ada sejak tahun 1930-an. Namun, jejak peradaban kopi di Indonesia jauh lebih tua.

Dari Ethiopia, kopi menyebar ke seluruh dunia, hingga akhirnya masuk ke Nusantara dibawa oleh VOC sekitar tahun 1696 dalam bentuk biji arabika dari Yaman. Karena iklim dan kesuburan alam yang cocok, VOC memutuskan kopi sebagai komoditas unggulan melalui sistem tanam paksa (cultuurstelsel) di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

Awalnya ditanam secara paksa, kopi akhirnya menyatu dengan kehidupan masyarakat Indonesia dari generasi ke generasi. Bahkan, bangsa Indonesia jatuh cinta pada kopi. Banyak bekas perkebunan kolonial di Jawa Barat dan Sumatera Utara menjadi sentra produksi modern. Kini, Indonesia menjadi produsen kopi terbesar keempat di dunia dengan kontribusi sekitar 6,8% dari total produksi kopi global (FAO, 2023).

Alam dan Cita Rasa Kopi Indonesia

Sejak dahulu, Nusantara dikenal sebagai tanah subur yang membuat apa pun yang ditanam tumbuh dengan baik. Begitu juga dengan kopi. Iklim, ketinggian lahan, kondisi tanah, dan metode pengolahan menciptakan keunikan profil rasa yang berbeda-beda di setiap daerah, mewakili identitas dan karakteristik rasa yang beragam.

Beberapa kopi Indonesia dengan cita rasa khas antara lain:

  • Gayo Aceh memiliki tingkat keasaman yang seimbang (bright acidity), aroma rempah seperti kayu manis dan cokelat, serta sedikit sentuhan rasa buah-buahan.
  • Mandailing memiliki rasa rempah, body yang tebal, dan aroma manis.
  • Kintamani, Bali menawarkan sensasi segar seperti jeruk (citrusy) dan buah-buahan lainnya, dengan tingkat keasaman lebih tinggi dan body yang ringan.
  • Toraja dari timur Indonesia memiliki aroma rempah kuat, rasanya seimbang, dengan body medium hingga tebal, dan keasaman rendah.
  • Wamena memiliki profil rasa lembut, aromanya floral, dan sedikit rasa manis layaknya karamel atau vanilla.

Faktor alam seperti iklim, tanah, ketinggian, dan curah hujan memengaruhi pertumbuhan tanaman kopi, sehingga setiap daerah memiliki cita rasa yang berbeda meski jenis bijinya sama. Selain itu, metode pengolahan seperti giling basah, cuci, atau pengeringan bersama buah juga memengaruhi citarasa kopi.

Perkembangan Tradisi dan Budaya Minum Kopi

Setiap cangkir kopi di Indonesia tidak hanya sekadar minuman, tetapi juga bagian dari tradisi dan budaya. Bentuk penyajiannya mengikuti selera masyarakat, menjadikannya unik. Di Yogyakarta, kopi dicampur bara arang membentuk kopi joss. Di Medan, kopi biasa dinikmati bersama roti srikaya seperti di kopitiam peranakan Tionghoa.

Sanger khas Aceh merupakan campuran kopi hitam, susu kental manis, dan gula yang disaring dan ditarik berulang kali. Setiap daerah memiliki gaya sendiri, mulai dari kopi tubruk hingga menggunakan alat penyaring. Warung kopi juga menjadi tempat berkumpul dan berkomunikasi, bahkan menjadi simbol status sosial.

Kopi sebagai Simbol Sosial dan Ruang Komunikasi

Menurut Dr. Ratna Frida Susanti (Dosen Antropologi UI, Peneliti Budaya Kopi), kopi di Indonesia bukan sekadar komoditas, tapi medium resistensi. Era kolonial, warung kopi menjadi tempat diskusi kaum nasionalis; sekarang jadi ruang demokrasi informal.

Bahkan istilah obrolan warung kopi tidak asing lagi. Bagi masyarakat sejahtera, menikmati secangkir kopi di kafe atau coffee shop menjadi pilihan. Sementara di warung biasa atau gerobakan, harga lebih terjangkau.

Perkembangan cara menikmati kopi juga mengalami pergeseran, disebut dengan third wave coffee. Dari semula kebiasaan sederhana, bergeser ke gaya hidup dan pengalaman sosial. Gelombang ketiga lebih memperhatikan asal usul biji kopi, mengangkat kopi menjadi produk seni dan keahlian sang peracik.

Nasib Petani Kopi Lokal

Tren third wave coffee memberi angin segar bagi petani kopi, terutama yang mampu menghasilkan biji berkualitas tinggi. Namun, tidak semua petani bernasib baik karena membutuhkan investasi dan jaringan luas. Banyak petani di daerah terpencil masih bergantung pada tengkulak yang membeli dengan harga rendah.

Faktanya, lebih dari 90% kopi Indonesia dihasilkan oleh petani kecil dengan lahan rata-rata 1–2 hektar (USDA FAS, 2024). Ancaman krisis iklim membuat nasib petani kopi rentan terhadap cuaca ekstrem, hama, dan penyakit. Meski nilai ekspor kopi Indonesia pada 2024 mencapai USD1,63 miliar (naik 76,3% dibanding 2023), kenaikan ini belum dirasakan oleh petani lokal.

Kesimpulan

Usai menikmati kopi lelet, kami berbaur dengan masyarakat Lasem. Bagi mereka, kopi lelet bukan cuma minuman, tapi narasi panjang kehidupan, kekayaan alam, dan dinamika sosial. Tak hanya di Lasem, di setiap pelosok, kopi mudah ditemui. Siapa pun dari berbagai kalangan mengenal kekayaan rasa Nusantara melalui secangkir kopi. Meski tren kopi global menguntungkan pebisnis urban, petani skala kecil perlu diperhatikan agar turut merasakan manfaatnya. Lalu, apa kopi kesukaan Anda?

0 Komentar