Perludem: Dukung Soeharto sebagai Pahlawan Berarti Menentang Demokrasi

Featured Image

Penolakan terhadap Pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional

Koalisi Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas) menunjukkan penolakan yang tegas terhadap wacana pengangkatan Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, sebagai pahlawan nasional. Koalisi ini terdiri dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang aktif dalam memperjuangkan keadilan dan demokrasi di Indonesia.

Usep Hasan Sadikin, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menyatakan bahwa mendukung Soeharto menjadi pahlawan sama artinya dengan bersikap antidemokrasi. Menurutnya, warisan 32 tahun rezim Orde Baru bertentangan langsung dengan pilar-pilar fundamental negara demokratis.

"Kalau kita menjadikan Soeharto itu pahlawan, kita itu berarti anti-demokrasi," ujar Usep dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta.

Pemilu pada Zaman Orde Baru: Hanya Formalitas

Menurut Usep, standar utama negara demokrasi adalah pemilu yang bebas dan adil. Namun, pada era Orde Baru, pemilu hanya menjadi formalitas. Hasilnya sudah bisa ditebak jauh-jauh hari, yaitu Soeharto dan partainya yang pasti menang. Tidak ada ruang untuk kompetisi sehat, jajak pendapat independen, atau hitung cepat.

"Pemilu hanya menjadi formalitas untuk melegitimasi kekuasaan yang sudah digenggam erat rezim Soeharto," kata dia.

Sistem Multipartai: Ilusi yang Tidak Nyata

Meski secara formal ada tiga kontestan yakni PPP, Golkar, dan PDI, sistem ini disebut ilusi multipartai. Kenyataannya, parlemen dikuasai satu kekuatan tunggal, yaitu Golkar. Dengan dominasi absolut seperti itu, fungsi pengawasan dari DPR menjadi mandul.

"Parlemen saat itu hanya Golkar karena suara Golkar mencapai 70 sampai 90 persen," ungkap Usep.

Pembunuhan Ideologi dan Politik yang Busuk

Selain itu, rezim Soeharto juga harus bertanggung jawab atas 'pembunuhan' ideologi. Kekuatan politik berbasis ideologi seperti komunisme dan Islam dilemahkan secara sistematis, membuat partai-partai kehilangan basis gagasan mereka. Narasi bahwa politik adalah sesuatu yang kotor dan tidak penting juga ditanamkan.

"Partai di pemilu nanti ideologis, pembunuhannya sudah dimulai di era Soeharto. Ideologi komunisme dibunuh di 1965. Setelah Soeharto mimpin, ideologi Islam dihancurkan, dibunuh," tutur Usep.

Akar Korupsi Sistemik yang Masih Terasa Sampai Sekarang

Praktik korupsi politik yang masif pada masa Orde Baru menjadi dosa demokrasi lainnya. Menurut Usep, kekuasaan dan pemerintahan saat itu menyatu untuk kepentingan mempertahankan jabatan dan mengamankan sumber daya. Masalah pengerahan bansos dan memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pemilu, sebenarnya merupakan warisan pada era Soeharto.

"Korupsi politik kan artinya bagaimana menggunakan politik, menyalahgunakan kewenangan, memainkan anggaran negara untuk mempertahankan kekuasaan," sambung dia.

Stabilitas Ekonomi yang Dibangun di Atas Pembungkaman Suara Rakyat

Argumen "Bapak Pembangunan" yang berhasil menciptakan stabilitas ekonomi sering kali menjadi pembelaan. Namun, Usep menegaskan, mitos terkait stabilitas tersebut adalah kebohongan yang ditegakkan dengan cara membungkam suara kritis. Kebebasan berpendapat diberangus, oposisi dimatikan, dan semua harus berjalan sesuai arahan pemerintah.

"Pahlawan sejati adalah sosok yang memerdekakan rakyat bersuara. Soeharto itu bukan hanya membuat rakyat takut bersuara, tapi juga membungkam," imbuh Usep.

0 Komentar