Menurut Gus Imdad, tema anti-bullying yang diangkat dalam Enje Festival sangat relevan dengan kondisi dunia pendidikan saat ini. Ia menilai pesantren memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Karena itu, ia mengajak para santri tidak hanya memahami isu bullying secara teoritis, tetapi juga berperan aktif menjadi agen perubahan di lingkungan masing-masing.
“Santri jangan hanya menjadi pendengar, tapi harus berani menjadi duta anti-bullying. Mulai dari kamar, kelas, hingga lingkungan pergaulan sehari-hari,” ujar Gus Imdad. Ia berharap pesan anti-perundungan tidak berhenti di forum acara, melainkan terus hidup dalam sikap dan perilaku santri.
Dalam sambutannya, Gus Imdad juga memberikan perspektif keagamaan terkait dampak bullying. Ia menegaskan bahwa tindakan perundungan tidak hanya merugikan korban, tetapi justru lebih dulu merusak pelaku itu sendiri. Menurutnya, dalam ajaran Islam, setiap bentuk kezaliman pada hakikatnya adalah kezaliman terhadap diri sendiri.
“Kita sebagai muslim memahami bahwa orang yang berbuat zalim sejatinya sedang mencelakakan dirinya. Bullying sering dinormalisasi, dianggap bercanda atau tradisi, padahal dampaknya sangat berbahaya bagi mental dan masa depan,” tegasnya.
Gus Imdad kemudian mengaitkan gerakan anti-bullying dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Ia mengutip hadis tentang kewajiban mencegah kemungkaran sesuai dengan kapasitas yang dimiliki setiap individu. Menurutnya, sikap diam terhadap bullying sama dengan membiarkan kemungkaran terus berlangsung.
“Kalau melihat bullying, jangan diam. Jika punya kapasitas sebagai pengurus atau wali asuh, gunakan kewenangan itu untuk menghentikan. Jika tidak, segera laporkan kepada guru atau wali asuh. Yang penting, tindakan itu harus dihentikan,” pesannya di hadapan para santri.
Langkah tegas tersebut, lanjut Gus Imdad, merupakan bagian dari ikhtiar bersama untuk menjaga marwah dan nama baik pesantren. Ia tidak menampik bahwa masih ada oknum yang menormalisasi perundungan sehingga memunculkan stigma negatif terhadap institusi pesantren di mata masyarakat. Karena itu, gerakan anti-bullying harus menjadi komitmen bersama seluruh civitas pesantren.
“Mari kita niatkan khidmah kepada pesantren dengan membersihkan pondok ini dari praktik bullying. Ini bukan tugas ringan, tapi ini adalah bentuk pengabdian yang sangat besar,” kata Gus Imdad. Ia menekankan bahwa pesantren harus menjadi ruang aman bagi tumbuh kembang santri, baik secara intelektual maupun spiritual.
Menjelang akhir sambutan, Gus Imdad juga memberikan motivasi kepada para peserta Enje Festival untuk terus mengembangkan potensi diri. Ia mengutip dawuh KH. Ahmad Sahal Mahfud yang menyebutkan bahwa kewajiban utama seorang pemuda adalah mengasah kemampuan dan bakatnya secara maksimal. Menurutnya, festival seperti Enje Festival menjadi wadah strategis bagi santri untuk mengekspresikan minat dan kreativitas secara positif.
“Gunakan Enje Festival ini sebagai ruang belajar dan berproses. Ambil setiap kesempatan untuk menjadi apa pun yang kalian cita-citakan, tanpa harus menjatuhkan orang lain,” tuturnya.
Penutupan Enje Festival dengan tema Pesantren Anti-Bullying ini diharapkan tidak hanya menjadi kegiatan seremonial, tetapi menjadi titik awal penguatan budaya saling menghormati di lingkungan pesantren. Gus Imdad berharap para santri mampu membawa nilai-nilai anti-bullying tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pesantren benar-benar menjadi tempat yang aman, ramah, dan mendidik karakter. (*)
0 Komentar