Dua Film, Satu Rasa, Satu Malam”: Pintu Project dan Jawara Film Suarakan Isu Bullying lewat Layar Sinema

JEMBER – Isu bullying atau perundungan kembali diangkat ke ruang publik, kali ini melalui medium film pendek yang menyentuh dan menggugah. Pintu Project bersama Jawara Film sukses menggelar pemutaran film bertajuk “Dua Film, Satu Rasa, Satu Malam” pada Selasa malam (24 Juni 2025) di Grand Valonia Hotel Jember, sebagai bagian dari roadshow film Lastarè yang diproduksi oleh Pintu Project.

Kegiatan ini menjadi pemutaran keempat film Lastarè dan yang pertama dilakukan di luar kota Situbondo. Lebih dari sekadar tontonan, acara ini menjadi ruang apresiasi seni, diskusi interaktif, dan edukasi sosial, khususnya terkait dampak perundungan dalam kehidupan sehari-hari.

Acara ini dihadiri oleh beragam kalangan, mulai dari mahasiswa, komunitas kreatif, aktivis sosial, hingga media lokal seperti RRI Jember. Ruang Rose Meeting Room lantai 1 Grand Valonia Hotel dipilih sebagai lokasi, menciptakan suasana hangat, akrab, dan penuh semangat kolaboratif. Kehadiran komunitas seperti Blogger Jember Sueger dan The Jannah Institute juga menambah warna dalam forum diskusi yang terbuka dan reflektif.

Dipandu oleh Naufal Falih Rabbani sebagai MC sekaligus moderator, acara dibuka dengan sambutan dari Muhammad Noval Muqorrobin, S.E., General Manager Grand Valonia Hotel. Dalam sambutannya, Noval mengapresiasi semangat para sineas muda dalam membawa isu-isu sosial ke dalam karya sinema. “Ini adalah bentuk edukasi kreatif yang sangat penting bagi masyarakat, terutama generasi muda,” ujarnya.

Kehangatan acara semakin terasa lewat pembacaan puisi bertema sosial oleh Eka Widyah dan Andhini Rahmania, dua mahasiswa Universitas Jember, yang membawakan karya mereka dengan penuh penghayatan.

Dua film pendek yang ditayangkan malam itu adalah Lastarè (produksi Pintu Project) dan Wrapped (produksi Jawara Film). Lastarè membahas isu bullying dengan latar budaya Situbondo dan monolog puisi berbahasa Madura. Film ini menyuguhkan relasi rumit antara ayah dan anak tanpa sosok ibu, dengan sentuhan sastra dan nilai lokal.

Sementara Wrapped menghadirkan cerita seorang ODGJ yang menyimpan luka lama akibat perundungan saat sekolah. Dengan alur sederhana namun menyentuh, film ini memperlihatkan bagaimana trauma masa lalu dapat membekas dalam kehidupan seseorang.

Meski sempat mengalami kendala teknis pada sistem tata suara, kedua film tetap mampu menyampaikan pesan kuat yang membekas di hati penonton. Diskusi usai pemutaran berlangsung aktif dan penuh antusiasme, dengan beragam pertanyaan dari peserta terkait proses kreatif, pemilihan tema, hingga tantangan produksi.

Uwan Urwan, produser Lastarè, menyampaikan bahwa film ini lahir dari pengalaman pribadi sebagai korban perundungan. Ia berharap film ini bisa menjadi sarana edukasi agar masyarakat lebih sadar akan dampak serius dari bullying. “Bullying itu bukan candaan. Luka psikologisnya bisa sangat panjang,” tegasnya.

Sementara Dinda Septi W.H., sutradara Lastarè, mengungkap proses produksi yang penuh tantangan—mulai dari penulisan naskah, pencarian aktor yang fasih berbahasa Madura, hingga menyatukan unsur budaya dan sastra dalam satu narasi visual yang utuh.

Dari sisi Jawara Film, Muhammad Royhan Hariri, sutradara Wrapped, juga membagikan kisah pribadinya sebagai penyintas perundungan di sekolah. Ia menyoroti minimnya respons dari lingkungan pendidikan terhadap tindakan bullying. Nadine Meida Saniyah, produser Wrapped, turut menceritakan tantangan produksi film yang dilakukan secara mandiri oleh tim mahasiswa, termasuk urunan biaya, perizinan lokasi, dan keterbatasan alat.

Di penghujung acara, banyak peserta menyampaikan apresiasi terhadap kedua film yang dinilai tidak hanya menghibur, tetapi juga mencerdaskan. Acara ini menjadi ruang penting untuk berbagi pengalaman, meningkatkan empati sosial, serta menginspirasi gerakan perubahan dari lingkungan terdekat, termasuk keluarga dan sekolah.

Pintu Project dan Jawara Film berharap kegiatan ini menjadi awal dari kolaborasi lintas komunitas yang lebih luas, sekaligus memicu semangat sineas muda di daerah untuk terus berkarya dan menghadirkan cerita-cerita bermakna. (*)

0 Komentar